Selatan Italia memang punya nama besar. Ia tak melulu tentang Napoli dan Maradona-nya. Dari Pulau Sardinia, hadir Luigi Riva yang membawa Cagliari Calcio menjuarai Liga Italia tahun 1970. Penyerang kidal yang biasa dipanggil Gigi ini juga berhasil mencetak gol terbanyak pada musim yang sama.
Pernah ada cerita lucu sekaligus bikin ngilu pernah dialaminya saat ia dan rekan-rekannya di Cagliari sedang menjalani sesi latihan. Barangkali dulu, sesi latihan klub tidak setertutup sekarang. Seorang bocah menyaksikannya latihan, ia duduk di belakang gawang. Tanpa sengaja, Gigi yang memang terkenal dengan akurasi tendangan kerasnya itu menendang bola ke arah gawang. Bola masuk ke gawang, namun si anak yang duduk tepat di balik jaring gawang juga kena getahnya, ia mengalami patah tulang lengan.
Tapi memang Maradona-lah yang pernah memantik cerita tentang selatan Italia vs utara Italia. Diego memang orang asing, pendatang dari Argentina. Namun orang asing ini pada akhirnya menjadi pahlawan sekaligus "tuhan" buat orang-orang Napoli. Di era Maradona itulah Napoli berhasil merebut dua gelar scudetto, satu piala UEFA, Copa Italia dan Supercoppa Italiana.
Keberhasilan Napoli merebut deretan gelar tak hanya berbicara soal siapa yang menjadi peringkat satu atau dua. Kemenangan kali ini bisa menjadi semacam bukti kalau sesekali, orang-orang selatan yang dipinggirkan, yang dicap sebagai biang kerok dan beban negara itu, bisa juga menang melawan orang-orang utara yang kaya.
Istilah keberhasilan perlawanan rakyat selatan sering dibawa-bawa jika membahas adidayanya Napoli di era Maradona. Namun yang menjadi pertanyaan, sebenarnya siapa dan apa yang dilawan oleh orang-orang Italia Selatan ini?
Cerita tentang kesenjangan antara wilayah selatan dan utara Italia bukan barang baru. Wilayah utara Italia adalah wajah Italia yang melambangkan kemakmuran, modernisasi dan kemajuan di sana-sini. Sementara bagian selatan ibarat tempat isolasi kaum miskin. Di selatan Italia, kisah yang diperdengarkan turun-temurun adalah kisah tentang kekumuhan.
Robert Putnam, seorang profesor ilmu politik dari Universitas Harvard, memandang keberadaan modal sosial berkorelasi secara positif dengan penguatan berbagai institusi demokrasi. Bahkan melebihi itu semua, modal sosial juga berbanding lurus dengan keberlanjutan dan pertumbuhan ekonomi.
Tesis Putnam ini didukung oleh studi komparatifnya di Italia Utara dan Italia Selatan. Putnam menemukan bahwa di Italia Utara yang relatif maju tingkat industrialisasinya memiliki kekayaan modal sosial yang lebih melimpah dibanding Italia Selatan.
Italia Utara juga dikenal dengan komune. Semacam kelompok masyarakat yang dibentuk secara sukarela, agaknya mirip dengan asosiasi. Konon, komune inilah yang berperan besar dalam merawat dan mengembangkan tradisi kewargaan dalam masyarakat Italia Utara.
Sementara Italia Selatan bukannya tak punya komune. Mereka pun memiliki, hanya saja tidak sebaik komune yang ada di Utara. Apalagi jika menyadari kalau kehidupan sosial masyarakat Italia Selatan menunjukkan gelagat dan kecenderungan ketidakpercayaan sosial.
Tak cuma komune, kawasan Italia Utara juga mempunyai banyak asosiasi kehidupan di tingkat lokal yang tumbuh dari bawah (bottom-up) dan partisipatif seperti vicinanze (asosiasi ketetanggaan), populus (organisasi pengelola gereja), consorterie (organisasi pengamanan komunitas) dan lain-lain. Sementara itu kawasan Italia Selatan lebih bersifat feodal, otokratik dan sentralistik yang mereka warisi dari Kerajaan Norman yang berpusat di Sisilia.
Dengan kondisi itu, tidak berlebihan jika akhirnya Italia Selatan menjadi wilayah yang mengalami defisit modal sosial. Akibatnya relasi sosial, kemampuan asosional, kultur demokratis dan semangat desentralisasi sulit berkembang di Italia Selatan. Makanya dalam tesis Putnam dijelaskan, adalah wajar jika Italia Utara lebih maju dengan industrinya berkat melimpahnya modal sosial mereka dibandingkan dengan Italia Selatan.
Masih menurut Putnam, salah satu penyebab utama defisit modal sosial di Italia Selatan adalah maraknya aktivitas organisasi kejahatan mafia. Kekuasaan mafia di wilayah Italia Selatan, yang celakanya juga menyebar ke daerah lain bahkan luar negeri, membikin wilayah tersebut tidak dapat menawarkan perlindungan kepemilikan pribadi. Akibatnya, orang-orang takut dan panik. Daripada harus kehilangan terlalu banyak, selatan Italia lebih baik terbengkalai begitu saja.
Wilayah selatan Italia rasanya terlalu cantik untuk menjadi sarang mafia. Namun terkadang, makhluk paling biadab memang gemar tebar pesona. Ia mengambil rupa yang elok, membikin siapa saja terlena lalu menerkam sampai tak bersisa.
Mafia adalah penyakit serius yang lama diidap Italia Selatan, terutama Sisilia, Kemiskinan, lenyapnya tanah sebagai kepemilikan publik, ketidakmampuan (atau mungkin ketidakmauan) masyarakat untuk beradaptasi dengan perkembangan dunia dan minimnya kepercayaan orang-orang Sisilia terhadap wewenang negara – menggiring Sisilia ke dalam dunia perbanditan.
Aktivitas mafia lebih marak terjadi di bagian barat Sisilia – terutama di Palermo. Maklum, mengingat wilayah ini jauh lebih makmur kalau dibandingkan dengan wilayah timur Sisilia. Wilayah barat ini juga diisi dengan pemukiman yang lebih padat. Hal ini berarti pemasukan yang tak sedikit buat penyedia jasa perlindungan properti. Mereka yang memiliki lahan ataupun hunian sering meminta bantuan kelompok pelindung untuk menjaga harta mereka.
Namun lama-kelamaan kondisi ini dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Mirip dengan kelakuan preman berkedok organisasi masyarakat yang kerap menawarkan bantuan pengamanan. Dan konon, inilah yang menjadi bentuk pertama bisnis gelap mafia di Sisilia; terutama Palermo.
Pada tahun 1864, seorang tuan tanah dan pelaku bisnis pertanian Palermo yang bernama Niccolò Turrisi Colonna mulai mengendus pergerakan kelompok mafia. Di tahun tersebut ia merilis semacam esai yang berjudul Public Security in Sicily. Di dalamnya ia turut membahas apa-apa saja yang terindikasi sebagai aktivitas mula-mula mafia. Dalam tulisannya tersebut, Colonna menyamarkan penyebutan mafia dan menggantinya dengan sekte pencuri.
Sekte ini terdiri dari beberapa kawanan; barangkali semacam pembagian divisi kalau dibandingkan dengan struktur organisasi zaman sekarang. Mereka menerima anggota baru. Siapapun yang berhasil menjadi anggota bakal merasa kebal hukum. Tertangkap polisi bukan masalah besar, menginap sehari-dua hari di sel juga bakal keluar lagi. Sekte ini tak hanya menawarkan jasa pengamanan tetapi juga jual-beli suara setiap pemilihan umum. Mereka bakal mengintimidasi pemilih untuk memilih calon yang sudah membayar mahal.
Memasuki era modern, kelakuan gembong mafia dan antek-anteknya semakin menjadi-menjadi. Antara terbiasa dan takut menjadi sasaran kekejian komplotan mafia, orang-orang Palermo cenderung mendiamkan. Mereka terkesan nrimo saat dunia pada akhirnya mencap Palermo sebagai sarang mafia. Apapun yang ditawarkan Palermo tak ada artinya, karena cerita yang didengar lalu dipercayai hanyalah seputar tindak-tanduk mafia yang membikin resah.
Tahun 1992 dunia dikagetkan dengan kematian beruntun dua orang hakim yang secara terang-terangan menentang eksistensi mafia. Yang tewas dibunuh adalah Hakim Giovanni Falcone dan mitranya, Hakim Paolo Borsellino.
Sepak terjang mafia yang semakin meresahkan membuat pemerintah Italia membentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti mafia. Satgas ini dipimpin oleh Hakim Giovanni Falcone, fokus mereka adalah pemberantasan mafia yang sebagian besar berasal dari desa di Palermo yang bernama Corleone. Pemimpin kelompok mafia ini begitu terkemuka, namanya Salvatore Riina atau biasa disebut Toto Riina. Ia adalah pemimpin dari kelompok mafia yang begitu termahsyur; Cosa Nostra. Jika penasaran, cobalah tonton film Il Capo Dei Capi (dirilis akhir tahun 2007) yang menceritakan siapa itu Toto Riina.
Dalam menjalankan tugasnya, Falcone memanfaatkan Tomasso Buchetta, seorang anggota Cosa Nostra yang berhasil ditangkap. Lewat pengakuannya, satgas pimpinan Falcone berhasil menangkap ratusan anggota mafia. Mereka yang tertangkap diadili secara massal bulan Februari 1986. Pengadilan itu dikenal dengan nama Maxi Trial (Maxi Processo).
Karena pengadilan ini melibatkan banyak anggota mafia yang harus diadili (sekitar 450-an orang), maka dibuat ruangan pengadilan khusus yang terdiri dari petak-petak berjeruji untuk para terdakwa, barisan meja panjang dan bersaf-saf untuk para pengacara berikut balkon untuk masyarakat umum (mayoritas anggota keluarga para mafia) yang ingin menyimak pengadilan tersebut.
Keberhasilan Falcone menjebloskan ratusan anggota mafia ke dalam penjara membikin dia digadang-gadangkan untuk menjabat sebagai ketua Pengadilan Palermo. Namun pada akhirnya ia kalah dalam pemilihan. Rivalnya yang terpilih ternyata merupakan relasi dari komplotan mafia Cosa Nostra. Si ketua pengadilan pun diindikasi punya andil dalam meloloskan 50 anggota mafia yang sempat ditangkap lewat Maxi Trial.
23 Mei 1992, Falcone baru saja tiba di Palermo dengan menumpang pesawat militer Roma. Dalam perjalanan, mobil yang ia tumpangi bersama istrinya meledak. Ternyata mobil tersebut sudah dipasang bom waktu yang dikendalikan dari jarak jauh. Tiga orang polisi yang ikut mengawal juga tewas. Kabarnya, ledakan tersebut meninggalkan cekungan berkedalaman 50 meter. Di lokasi pengeboman pun dibuat mural untuk mengenang Falcone dan istrinya.
Dua bulan setelahnya, tepat tanggal 19 Juli 1992, Borsellino yang menjadi korban dari kebiadaban mafia. Bersama istri dan 5 orang pengawalnya, ia tewas dilumat bom saat mengunjungi apartemen sang ibu.
Rentetan kekejaman mafia di tahun 1992 itu kembali mengingatkan Palermo atas apa yang pernah dilakukan oleh komplotan bengis ini. Tahun 1979, wartawan bernama Mario Francese tewas diberondong peluru akibat kegigihannya membongkar intervensi mafia dalam kasus pembangunan bendungan di Sisilia. Yang paling mengenaskan, Mario tewas di hadapan putranya, Julio Francese – yang kini mengikuti jejak ayahnya sebagai wartawan.
Rententan kejadian tadi tak hanya terjadi sebelum tahun 1987 saat Napoli meraih scudetto yang dirayakan dengan begitu khidmat oleh publik Italia Selatan, karena menjadi penanda perlawanan kaum terpinggirkan yang tak sia-sia. Namun jika segala keterpurukan Italia Selatan sebenarnya lahir dari dalam tepat seperti yang dikatakan oleh Putnam lewat teorinya tersebut – maka sebenarnya perlawanan Italia Selatan belum membuahkan hasil atau jangan-jangan mereka juga belum melawan sama sekali.
Karena bagaimanapun juga pasca kemenangan beruntun Napoli di era Maradona, tak ada yang berubah dengan selatan Italia. Mereka tetap kalah secara sosial, politik dan ekonomi. Mafia-mafia yang dianggap sebagai biang kerok keterpurukan semakin merajalela.
Matinya Salvatore Lucania atau biasa dikenal sebagai Charles “Lucky” Luciano, si gembong mafia Cosa Nostra yang termahsyur itu, tak membikin aktivitas mafia meredup. Penerusnya, Toto Riina, justru bertindak semakin brutal di era 1970-1990-an.
Apalagi kedatangan Maradona di Napoli juga lekat dengan isu mafia. Sindikat tersebut dikenal dengan nama Cammora (sepak terjang mafia ini dikisahkan kembali dalam film Gommorah). Entah benar atau tidak, yang jelas nama Cammora sering dikaitkan dengan kedatangan Maradona ke Napoli pada 1984. Namun menurut informan polisi yang juga berasal dari kalangan mafia, Cammora pula yang membuat Napoli tak juara di musim 1987/1988. Katanya, rumah judi yang dikelola Cammora bakal bangkrut jika Napoli menang.
Karibnya Maradona dengan obat-obatan terlarang dan prostitusi kabarnya juga bermula dari pergaulannya dengan anggota mafia Cammora. Manajer pribadi Maradona yang bernama Guillermo Coppola bahkan juga berprofesi sebagai penyalur narkoba buat pemain Napoli.
Lewat kemenangan Napoli saat itu, Italia Selatan pada dasarnya hanya merasa menang atas Italia Utara. Sepakbola selatan Italia tak ikut bangkit pasca kemenangan tersebut.
Sisilia, yang juga memiliki klub sepakbola, juga tak menunjukkan geliat yang menggembirakan. Mereka sibuk dengan keterpurukannya. Orang-orang Sisilia tak pernah dibicarakan karena sepakbola mereka. Nama mereka dikenal banyak orang. Dunia tahu siapa Sisilia. Tapi yang mereka kenal adalah Sisilia yang menjadi sarang mafia, bukan sepakbolanya.
Kalau mau membicarakan kemenangan publik Italia Selatan – terutama Sisilia – rasanya ada yang lebih pas dibandingkan dengan membicarakan prestasi Napoli di era Maradona. Kemenangan buat Sisila sebenarnya terjadi pada 5 Januari 1993. Hari di mana Satgas Anti Mafia berhasil menangkap “the boss of the bosses”, Salvatore Riina di Palermo.
Konon, pasca meninggalnya dua penegak hukum mereka, Sisilia berubah. Rakyat mengamuk. Mereka menuntut agar gembong-gembong mafia itu dihukum mati. Dalam sebuah wawancara, Marco Romano, wartawan dari harian lokal Palermo, Giornale, menjelaskan kalau mereka sudah muak bila Sisilia dikenal sebagai sarang mafia. Tidak semua orang Sisilia adalah mafia walaupun ia mengakui kalau mafia sudah menjadi kultur bagi Sisilia. Tapi angkatan muda Sisilia – terutama pasca kematian Falcone dan Borsellino – berontak. Mereka tak sudi dihajar ketakutan yang mendarah daging akibat ulah para mafia.
Untuk diketahui, tempat Romano bekerja, yaitu koran Gironale, merupakan surat kabar tertua di Sisila. Sejak didirikan pada 1860, Gironale menjadi saksi perkembangan aktivitas mafia di Sisilia. Para pekerjanya sering diancam karena menolak berpihak pada partai ataupun pemerintah yang sudah disusupi mafia.
Namun adalah naïf jika penangkapan Riina dan anggotanya pada tahun 1993 dianggap sebagai puncak kemenangan Sisilia atas mafia yang diduga keras menjadi gembong dari keterpurukan mereka. Karena toh, jauh bertahun-tahun setelah itu mafia tetap saja beraksi.
Tahun 2011 bahkan beredar kabar kalau di musim sebelumnya manajemen Palermo membagi-bagikan tiket gratis buat anggota mafia Sisilia. Dua pemimpin mafia Giovanni Pecoraro dan Marcello Trapani dikabarkan memiliki wewenang khusus untuk mengontrol pelatih dan manajemen perihal pemain mana yang harus dimainkan dan tidak dimainkan dalam pertandingan.
Parahnya, beberapa nama juga sempat dicurigai sebagai pemain yang dilindungi mafia. Ada sejumlah uang keamanan yang disetor manajemen Palermo kepada pada para mafia, persis seperti bisnis pertama mafia yang dijelaskan dalam esai Niccolo Collona.
Maurizio Zamparini, presiden klub Palermo boleh mengeluh perihal jurang antara utara dan selatan Italia. Ia juga boleh menuding pers menyebarkan pemberitaan yang berat sebelah. Namun saat menyimak isu yang menimpa klubnya, rasanya wajar-wajar saja kalau ada banyak pemain incarannya hijrah ke utara. Walaupun tak ada jaminan kalau wilayah utara bebas dari sindikat mafia. Terlebih kita semua tahu apa yang pernah menimpa jagoan-jagoan dari utara Italia terkait urusannya dengan mafia sepakbola dan pengaturan skor.
Mafia pada dasarnya adalah sindikat yang disusun dan berjalan dengan rapi. Gerak-geriknya sering tak tercium. Kalaupun tercium, ada banyak alasan yang membikin keputusan untuk menutup mulut sebagai keputusan yang tepat. Dan atas segala kengerian yang diciptakannya, rasanya tak akan ada yang tahu kapan mafia-mafia itu benar-benar dicerabut dari muka bumi.
=====
* Akun twitter penulis: @marinisaragih
** Foto-foto: Getty Images, AFP