Mantan defender Juventus Paolo Montero mengisahkan pengalamanya ketika berlaga di Serie-A . Suatu ketika ia edang berada di Viareggio bersama rekanya ,Attila di dalam sebuah restoran .Waktu itu banyak tifosi fiorentina berkeliaran di sana .
Bisa di tebak ketegangan tercipta . “Bayangkan aku seorang pemain Juventus yang dikelilingi oleh tifosi Fiorentina .Mulanya hanya sumpah serapah ,lalu berlanjut ke saling dorong hingga akhirnya baku hantam .’’ Kenang eks pemain asal Uruguay itu.
Pengalaman tersebut tidak hanya dirasakan pemain Serie-A di masa lampau.Contoh bagaimana sambutan pemain AC Milan Klaas Jan Huntalaar ketika hendak menjalani tes kesehatan di Milan. Huntelaar disambut oleh seorang Interisti yang membawa spanduk bertuliskan FORZA INTER di bandara Malpensa. Orang it uterus berdiri di depanya sambil mengangkat banner mengikuti kemanapun The Hunter bergerak.
Untung tidak ada insiden yang terjadi. Huntelaar memilih melayani pertanyaan para jurnalis yang mengerubutinya ketimbang menghiraukan tingkah tifosi tim rival sekotanya tersebut. Namun hal itu membuka mata Huntelaar. Benvenuto a Serie-A!. Inilah liga yang panasnya tidak hanya terjadi di lapangan . Panasnya membakar hingga keseharian.
Serie-A pernah mengalami kejayaan di era 90-an. Klaim sebagai liga terbaik di dunia terpatri kuat. Tapi sebutan itu kian menguap. Di negri ini ada yang percaya gaung Serie-a
sudah kalah dengan liga-liga elit eropa lainya.
Tak dipungkiri penurunan terjadi. Indikator aling gampang ialah hilanglah pemain besar. Pemain ternama enggan menginjakan kaki lagi da Italia . Pun permainan tidak lagi memikat. Serie-A dituding bermain lambat,cenderung defensif,dan kurang menyajikan aksi-aksi spektakuler.
Ditonton dengan mata, stigma itu mungkin ada benarnya. Tapi kalau menyaksikan dengan hati itu bisa diperdebatkan.Meminjam istilah dalam terminologi sosiologi, sepakbola sudah menjadi way of life bagi publik Italia. Membela tim Serie-A berarti kontrak mati untuk mendukungnya sepenuh hati.
Imbasnya, kejayaan menjadi yang utama . Kemenagan diatas segala- galanya. Mengalahkan sportifitas tak jarang permainan memikat. Jangan kagrt kalau tifosi Serie-A tegang bukan kepalang kala menyaksikan laga yang bagi pendukung netral kurang memikat .Sebab baginya kalah adalah aib.
Sebuah kisah dari Kevin Buckley Seorang wartawan lepas dari Guardian . Ketika AC Milan menjuarai Liga Champions 2002-03 pantas menjadi contoh yang pas. Saat itu tifosi I Rossoneri memenuhi seluruh penjuru kota Milan, Andrea seorang Interisti memilih pergi ke bioskop. Apa sebabnya ? Sebab hanya itulah salah satu tempat yang “aman” bagi dirinya dari gemerlapnya perayaan pendukung Milan.
Itulah segelintir cerita dari gemerlapnya Serie-A, dan kita patut menyebut Serie-A sebagai salah satu liga terbaik di dunia.
Selasa, 23 Maret 2010
Tentang Serie - A
Mantan defender Juventus Paolo Montero mengisahkan pengalamanya ketika berlaga di Serie-A . Suatu ketika ia edang berada di Viareggio bersama rekanya ,Attila di dalam sebuah restoran .Waktu itu banyak tifosi fiorentina berkeliaran di sana .
Bisa di tebak ketegangan tercipta . “Bayangkan aku seorang pemain Juventus yang dikelilingi oleh tifosi Fiorentina .Mulanya hanya sumpah serapah ,lalu berlanjut ke saling dorong hingga akhirnya baku hantam .’’ Kenang eks pemain asal Uruguay itu.
Pengalaman tersebut tidak hanya dirasakan pemain Serie-A di masa lampau.Contoh bagaimana sambutan pemain AC Milan Klaas Jan Huntalaar ketika hendak menjalani tes kesehatan di Milan. Huntelaar disambut oleh seorang Interisti yang membawa spanduk bertuliskan FORZA INTER di bandara Malpensa. Orang it uterus berdiri di depanya sambil mengangkat banner mengikuti kemanapun The Hunter bergerak.
Untung tidak ada insiden yang terjadi. Huntelaar memilih melayani pertanyaan para jurnalis yang mengerubutinya ketimbang menghiraukan tingkah tifosi tim rival sekotanya tersebut. Namun hal itu membuka mata Huntelaar. Benvenuto a Serie-A!. Inilah liga yang panasnya tidak hanya terjadi di lapangan . Panasnya membakar hingga keseharian.
Serie-A pernah mengalami kejayaan di era 90-an. Klaim sebagai liga terbaik di dunia terpatri kuat. Tapi sebutan itu kian menguap. Di negri ini ada yang percaya gaung Serie-a
sudah kalah dengan liga-liga elit eropa lainya.
Tak dipungkiri penurunan terjadi. Indikator aling gampang ialah hilanglah pemain besar. Pemain ternama enggan menginjakan kaki lagi da Italia . Pun permainan tidak lagi memikat. Serie-A dituding bermain lambat,cenderung defensif,dan kurang menyajikan aksi-aksi spektakuler.
Ditonton dengan mata, stigma itu mungkin ada benarnya. Tapi kalau menyaksikan dengan hati itu bisa diperdebatkan.Meminjam istilah dalam terminologi sosiologi, sepakbola sudah menjadi way of life bagi publik Italia. Membela tim Serie-A berarti kontrak mati untuk mendukungnya sepenuh hati.
Imbasnya, kejayaan menjadi yang utama . Kemenagan diatas segala- galanya. Mengalahkan sportifitas tak jarang permainan memikat. Jangan kagrt kalau tifosi Serie-A tegang bukan kepalang kala menyaksikan laga yang bagi pendukung netral kurang memikat .Sebab baginya kalah adalah aib.
Sebuah kisah dari Kevin Buckley Seorang wartawan lepas dari Guardian . Ketika AC Milan menjuarai Liga Champions 2002-03 pantas menjadi contoh yang pas. Saat itu tifosi I Rossoneri memenuhi seluruh penjuru kota Milan, Andrea seorang Interisti memilih pergi ke bioskop. Apa sebabnya ? Sebab hanya itulah salah satu tempat yang “aman” bagi dirinya dari gemerlapnya perayaan pendukung Milan.
Itulah segelintir cerita dari gemerlapnya Serie-A, dan kita patut menyebut Serie-A sebagai salah satu liga terbaik di dunia.
Like the Post? Do share with your Friends.
Label:
Cerita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar