Selasa, 28 Juli 2015

Barcelona dan Pemberontakan yang Tak Pernah (Dibuat) Selesai



“Barcelona adalah senjata dahsyat dari sebuah bangsa tanpa negara,” Manuel Vazquez Montalban.

El Clasico bukan sekadar pertarungan 90 menit di lapangan antara Real Madrid melawan Barcelona. Ini adalah pertarungan dua bangsa dalam sebuah negara bernama Spanyol.

Memang, bayangan kudeta, perlawanan, atau pemberontakan akan selalu membayangi El Clasico. Karena itu pula gaungnya akan selalu lebih tinggi, dinanti, dan diikuti ketimbang laga besar lain, atau derbi sekalipun. Sebab yang klasik sudah tentu punya nilai lebih tinggi.

Kedua klub memang selalu (dan akan senantiasa) berseberangan karena paham-paham klasik. Real klub ibu kota, Barca pinggiran dan lepas pantai. Real asli Spanyol, Barca kebanyakan imigran. Fans Real menganut paham kanan yang nasionalis, fans Barca memilih kiri dengan etno nasionalis. Dan, tentu saja, Los Blancos jadi wakil kerajaan, sementara Blaugrana sang pemberontak.

Bangsa Imigran yang Ingin Merdeka

Biasanya, kisah pemberontakan biasanya lahir dari tanah kesengsaraan. Tapi tidak dengan cerita dari Katalunya. Daerah yang berada di pesisir pantai ini sebenarnya lebih maju dan kaya.

Bahkan ketika belum bersatu dalam Kerajaan Spanyol, Katalunya adalah pusat perdagangan, kebudayaan, dan jalur utama masuk ke Spanyol, dengan banyak saudagar dan kapitalis yang berkuasa di Spanyol berasal dari Barcelona. Tak heran jika mereka merasa lebih dulu tahu tentang dunia luar, ketimbang Madrid yang pusat pemerintahannya di tengah-tengah Spanyol.

Di pantai Katalunya, imigran-imigran yang tersisih dari negaranya masing-masing diterima dengan baik. Mereka dianggap saudara senasib. Dan pembauran inilah yang menjadikan Katalunya merasa berbeda. Mereka berpikir sebagai bangsa yang harus bebas. Apalagi para awak kapal yang bersandar di pelabuhan kerap membawa cerita indah tentang kemerdekaan negara-negara luar.

Menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan juga membuat Katalunya berpikir bahwa mereka lebih besar dari Spanyol. Apalagi Katalunya selalu berada di bawah pendudukan politik tuan tanah Kastilia yang tinggal di Madrid, meski lebih maju secara ekonomi. Katalunya hanya sapi perah bagi kumpulan orang udik tak berdaya yang duduk-duduk manis di Madrid.

Keresahan itu lalu dimanfaatkan oleh pengusaha Swiss dan eks kapten FC Basel, Joan Gamper, dengan beberapa ekspatriat Inggris yang doyan sepakbola. Mereka mendoktrin Katalunya bahwa perjuangan mereka bisa disuarakan melalui sepakbola.

Pages: 1 2 3 4

Like the Post? Do share with your Friends.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IconIconIconFollow Me on Pinterest
//add jQuery library