Secara melankolis seorang Novelis Inggris, Sir Hall Caine, dalam novelnya yang berjudul âThe Eternal Cityâ (1901), mengatakan bahwa Kota Roma adalah "sebuah kekaisaran tanpa akhir."
âKeabadianâ itulah yang ingin disampaikan Caine. Suatu frasa yang berhubungan dengan keadaan utopis di Roma kala itu. Tak ayal sebutan Eternal City pun kini didaulat sebagai julukan Kota Roma.
Keabadian inilah yang akan hadir dalam laga epik nan heroik di Stadion Olimpico, Minggu (26/5/2013). Rivalitas perseteruan abadi Lazio dan Roma akan mencapai titik puncak dalam sejarahnya. Baru pertama kali dalam historis sepakbola italia kedua tim ini harus bentrok di laga final dalam sebuah ajang prestise semacam Coppa Italia. Karenanya tak ada pilihan lain bagi kedua tim: membunuh atau dibunuh.
Di ajang Coppa Italia, pertarungan derbi di final sendiri baru terjadi dua kali. Pada 1938 Juventus dapat menaklukan Torino, sementara di tahun 1977 giliran AC Milan yang mempecundangi Inter Milan.
Namun Derby Della Capitale tidaklah sebersahabat Derby della Mole atau Derby della Madonnina. Wajar saja jika website footbalderbies.com memberikan predikat Derby Della Capitale sebagai derbi paling panas di italia.
Kebencian adalah keharusan itulah yang selalu dibenamkan kedua pendukung dari generasi ke generasi melalui beberapa kelompok suporter garis keras. Kebencian terhadap klub rival bahkan melebihi kecintaan terhadap klub sendiri. Coba tengok bagaimana tingkah suporter Lazio yang meminta timnya untuk mengalah kepada Inter Milan di tahun 2010.
Kala itu, Inter sedang bersaing dengan AS Roma untuk memperebutkan gelar Scudetto dan kemenangan dari Lazio akan memuluskan langkah itu. Di sisi lain, Lazio berada di peringkat 17 hanya berselisih 4 poin dari zona degradasi. Kekalahan dari Inter tentunya akan membuat mimpi buruk itu semakin jadi kenyataan.
Dan suporter Lazio lebih memilih mimpi buruk tersebut. Coba baca isi tulisan-tulisan spanduk yang dibentangkan ultras Lazio: "Jika sampai menit ke 80 Lazio menang, kami akan menyerbu ke lapangan!", "Nando (Menunjuk kepada Fernando Muslera Kiper Lazio), biarkan bola melewatimu, dan kami akan tetap menyayangimu." "Zarate, satu gol saja kau cetak, kami paketkan kau ke Buenos Aires."
Ya, pendukung Lazio ternyata lebih memilih tim kesayangannya degradasi ke seri B ketimbang melihat sang rival berpesta merayakan scudeto.
Tingkah ultras ini membuat pemain Lazio bermain buruk. Alhasil Inter pun menang 2-0.
"Oh, Noooo Roma!" dan, "Scudetto Game Over, Roma!" bentang spanduk pendukung Lazio usai pertandingan.
Presiden Roma, Rosella Sensi mengecam dan menyebut suporter lazio anti fairplay. Jose Mourinho yang kala itu melatih inter hanya geleng-geleng kepala sembari berkata, "Saya belum pernah menyaksikan yang seperti ini,"Sudah menjadi sebuah tagline di antara kedua pendukung bahwa 'Derby is much more than just a game'. Tak mengapa tak mampu meraih scudeto atau kalah dari tim lain asalkan jangan jadi pecundang saat menghadapi tim rival. Kekalahan adalah aib yang akan terus menjadi olok-olokan sampai derbi kembali digelar.
âKeabadianâ itulah yang ingin disampaikan Caine. Suatu frasa yang berhubungan dengan keadaan utopis di Roma kala itu. Tak ayal sebutan Eternal City pun kini didaulat sebagai julukan Kota Roma.
Keabadian inilah yang akan hadir dalam laga epik nan heroik di Stadion Olimpico, Minggu (26/5/2013). Rivalitas perseteruan abadi Lazio dan Roma akan mencapai titik puncak dalam sejarahnya. Baru pertama kali dalam historis sepakbola italia kedua tim ini harus bentrok di laga final dalam sebuah ajang prestise semacam Coppa Italia. Karenanya tak ada pilihan lain bagi kedua tim: membunuh atau dibunuh.
Di ajang Coppa Italia, pertarungan derbi di final sendiri baru terjadi dua kali. Pada 1938 Juventus dapat menaklukan Torino, sementara di tahun 1977 giliran AC Milan yang mempecundangi Inter Milan.
Namun Derby Della Capitale tidaklah sebersahabat Derby della Mole atau Derby della Madonnina. Wajar saja jika website footbalderbies.com memberikan predikat Derby Della Capitale sebagai derbi paling panas di italia.
Kebencian adalah keharusan itulah yang selalu dibenamkan kedua pendukung dari generasi ke generasi melalui beberapa kelompok suporter garis keras. Kebencian terhadap klub rival bahkan melebihi kecintaan terhadap klub sendiri. Coba tengok bagaimana tingkah suporter Lazio yang meminta timnya untuk mengalah kepada Inter Milan di tahun 2010.
Kala itu, Inter sedang bersaing dengan AS Roma untuk memperebutkan gelar Scudetto dan kemenangan dari Lazio akan memuluskan langkah itu. Di sisi lain, Lazio berada di peringkat 17 hanya berselisih 4 poin dari zona degradasi. Kekalahan dari Inter tentunya akan membuat mimpi buruk itu semakin jadi kenyataan.
Dan suporter Lazio lebih memilih mimpi buruk tersebut. Coba baca isi tulisan-tulisan spanduk yang dibentangkan ultras Lazio: "Jika sampai menit ke 80 Lazio menang, kami akan menyerbu ke lapangan!", "Nando (Menunjuk kepada Fernando Muslera Kiper Lazio), biarkan bola melewatimu, dan kami akan tetap menyayangimu." "Zarate, satu gol saja kau cetak, kami paketkan kau ke Buenos Aires."
Ya, pendukung Lazio ternyata lebih memilih tim kesayangannya degradasi ke seri B ketimbang melihat sang rival berpesta merayakan scudeto.
Tingkah ultras ini membuat pemain Lazio bermain buruk. Alhasil Inter pun menang 2-0.
"Oh, Noooo Roma!" dan, "Scudetto Game Over, Roma!" bentang spanduk pendukung Lazio usai pertandingan.
Presiden Roma, Rosella Sensi mengecam dan menyebut suporter lazio anti fairplay. Jose Mourinho yang kala itu melatih inter hanya geleng-geleng kepala sembari berkata, "Saya belum pernah menyaksikan yang seperti ini,"Sudah menjadi sebuah tagline di antara kedua pendukung bahwa 'Derby is much more than just a game'. Tak mengapa tak mampu meraih scudeto atau kalah dari tim lain asalkan jangan jadi pecundang saat menghadapi tim rival. Kekalahan adalah aib yang akan terus menjadi olok-olokan sampai derbi kembali digelar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar