Dari Florence, kota kecil berpenduduk 300 ribu, dunia berubah. Kota berbunga nan indah yang kini lebih diidentikkan sebagai tujuan wisata. Lembaran sejarah memang mencatatkan bahwa tanah Florence-lah yang melahirkan dan membesarkan rennaissance sebelum mewabah ke seluruh penjuru Eropa.
Ya, Florence menelurkan banyak pemikir, seniman, ilmuwan, dan politikus ulung yang mewarnai dunia baru. Mulai dari Dante, Michelangelo, Galileo, Machiavelli, Leonardo Da Vinci, dan banyak lainnya. Para pemikir dan artisan inilah yang mengembalikan kedigdayaan barat dari tangan orang timur. Dan, hingga kini, bangunan-bangunan tua dari abad rennasissance masih tetap tegak kokoh, penanda bahwa kota ini sempat jadi pusat peradaban manusia berada.
Berbeda dengan kota-kota lain di Italia, semisal Roma atau Turin, kota Florence hanya punya satu klub yang bisa diandalkan, Fiorentina. Rival sekota mereka, Siena, sudah terbenam di Serie-B. Itu pun dengan catatan bahwa Siena tak punya sejarah bagus di kancah sepakbola Italia.
Jika dilihat dalam skala lebih besar lagi, di regional provinsi Tuscani, saingan klub profesional Fiorentina paling banter hanya Empoli, Livorno, dan Pisa. Nama-nama itu tentu masih kalah tenar ketimbang Fiorentina. Tak heran jika Fiorentina sepi konflik dan jarang terlibat skandal.
Sampai akhirnya ketenangan itu diusik oleh Juventus "Si Rakus dari Turin" --menyadur julukan yang dilontarkan Keluarga Medici kepada keluarga Savoy-- pada awal dekade 1980-an.
Sejak abad pertengahan, Florence dan Turin memang selalu saja memiliki konflik. Lewat persaingan dua keluarga ningrat: House of Medici yang tinggal Florence dan House of Savoy mewakili Turin.
Dari segi kekuasaan, keluarga Medici hanya menguasai Tuscani, lain hal dengan Keluarga Savoy yang menguasai Italia keseluruhan. Kendati demikian, lewat ekonomi, keluaga Medici mampu menguasai Italia lewat jalur Medici Bank, sebuah bank terbesar di Eropa pada abad 15.
Karena itu Florence dikenal sebagai tanah para bankir, pemikir, dan politikus. Hal itulah yang kadang dibenci oleh sang pemegang kuasa di Turin. Kebencian ini ditularkan ke daerah-daerah lain. Sebuah pemikiran pun lahir yang menyatakan bahwa Florence sebagai tempat para kapitalis, para lintah darat, bandit-bandit yang berlindung di balik darah ningrat.
Scudetto yang Tercuri
Lima abad kemudian, lewat sepakbola, kebencian itu kembali terjadi. Muhammad Kusnaeni, atau sosok yang akrab disapa Bung Kus, dalam buku berjudul "Sepakbola Italia" menulis bahwa dalam klub Fiorentina memang dibenci di seluruh tanah Italia.
Letak posisi geografisnya yang "nanggung" berada di tengah-tengah membuat identitas Fiorentina tak jelas. Mereka bukan klub Italia Utara, tapi juga tidak bisa diklaim bagian dari Italia Selatan. Tapi situasi tersebut malah membuat kesolidan masyarakat Florence untuk mendukung La Viola semakin mengental.
Dan siapa lagi yang memantik api kerusuhan itu kalau bukan "Si Rakus dari Turin".
Cerita ini bermula pada 1980, ketika seorang pengusaha real estate, Flavio Pontello, membeli Fiorentina dan menyulapnya menjadi klub kaya.
Ia mendatangkan banyak pemain bintang, diantaranya Francesco Graziani, Eraldo Pecci, Daniel Bertoni, Daniele Massaro, dan pemain muda Pietro Vierchowod. Dan musim 1981/1982 adalah titik puncaknya. Fiorentina jadi pesaing utama Juventus yang sedang jaya-jayanya.
Pada musim 1981/1982, selama separuh musim, Fiorentina selalu memimpin liga. Sebuah capaian yang tak pernah dilakukan sejak tahun 1969. Tapi, menjelang liga berakhir, perolehan nilai mereka disamai oleh Juventus lewat kemenangan-kemenangan kontroversial. Akhirnya Fiorentina dan Juventus sama-sama mengemas 44 poin.
Pada partai pamungkas, Juve bertandang ke Catanzaro sedangkan Fiorentina ke Cagliari. Hingga akhir babak pertama, kedua laga itu masih imbang tanpa gol. Sampai titik tersebut, para pengamat berpendapat gelar juara akan ditentukan lewat play-off, karena sistem head-to-head atau selisih gol memang belum berlaku.
Namun, terjadilah skandal yang menghebohkan Itu.
Pada babak kedua, Fiorentina mencetak gol lewat Daniel Bertoni setelah mendapat umpan crossing dari sayap kanan. Apesnya, gol itu dianulir oleh wasit. Tak jelas kenapa gol tersebut dianulir, entah karena handball atau pelanggaran.
Pada saat berbarengan, Juventus mendapatkan penalti. Alhasil gelar pun terbang ke Turin. Si Nyonya Besar menang tipis 1-0, sementara lain Fiorentina hanya bermain imbang 0-0.
Akhir musim yang amat emosional. Sang kapten, Antogni, bahkan secara vulgar menyebut Juventus sebagai pencuri. "Mereka mengambil gelar juara kami. Sepanjang musim, kami satu-satunya tim yang tidak diberi penalti ketika melawan mereka," sindirnya.
Aksi protes gencar dilakukan kepada FIGC dengan satu tuntutan: mencabut gelar scudetto yang dicuri oleh Juventus. Bahkan ribuan fans pun turun ke jalan demi mengembalikan gelar ini.
Para penggemar La Viola tak pernah lupa pada angka '82. Tiga puluh tahun kemudian, tepatnya pada 2012, secara frontal Presiden Fiorentina Andrea Della Valle juga merayakan scudetto yang tercuri itu.
"Tahun 1982 adalah milik kita. Wajar jika kita berpesta merayakan 30 tahun perayaan itu. Dua bintang yang menempel di dada mereka adalah curian," ucapnya getir. Memang, gelar scudetto yang didapat Juventus pada musim itu adalah gelar ke-20. Karena scudetto itulah Juventus mendapat dua bintang yang menempel di dada.
Florence yang "Anti Keberuntungan"
Skandal 1982-lah yang membuat penduduk Florence mendendam pada Juventus, meski kebencian ini hanya berlangsung sepihak. Sejak saat itu pula orang yang memakai jersey Juventus haram hilir mudik di Florence, jika mereka ingin aman. Di kota ini juga lazim beredar stiker bertuliskan "Anti Gobbizata" baik di rumah-rumah atau pertokoan.
Secara harafiah, gobbizata berarti si punggung bungkuk. Mungkin Anda akan bertanya-tanya, apakah masyarakat Florence benci orang yang punggungnya bungkuk? Apa yang salah dengan itu? Bukankah Victor Hugo juga menggambarkan gobbi sebagai sosok protagonis dalam novelnya, "The Hunchback Of Notre-Dame"?
Di Italia, gobbi sendiri dianggap sebagai simbol keberuntungan. Dan oleh para penduduk Florence, Juventus selalu diingat sebagai tim yang penuh "keberuntungan".
Dalam novel "The Hunchbacks Of Notre Dame" digambarkan gobbi sebagai sesosok yang buruk rupa, bungkuk, dan dibenci orang. Kendati demikian, keberuntungan tak henti menghinggapi dirinya, termasuk saat ia mendapatkan seorang putri gipsi yang cantik. Mungkin hal itu juga diasosiasikan oleh fans Fiorentina dengan Juventus.
Para fans La Viola juga memiliki kebiasaan unik saat klubnya merekrut pemain yang sempat membela Juventus. Mereka akan menjalankan ritual agar pemain tersebut "de-Huncbacked", atau semacam di-ruwat.
Misalnya saja Enzo Maresca. Saat pertama kali datang ke kamp latihan Fiorentina, ia langsung diserbu para fans yang membawa sikat dan menyemprotkan air kepadanya. Secara berembuk fans memandikan dan membersihkannya dari sisa-sisa "keberuntungan" Juventus. Sebegitulanyalah fans Fiorentina memandang Si Nyoya Besar.
Baggio yang Memantik Kerusuhan
Bukan hanya angka '82 yang menorehkan luka di hati para penduduk Florence. Nama Roberto Baggio pun juga. Pada 1990, memang sempat beredar kabar tak enak yang membuat aktivitas penduduk Florence sempat terhenti beberapa hari. Bahkan memantik kerusuhan di mana-mana. Kabar itu adalah: dijualnya Roberto Baggio ke Juventus.
Ya, jelang Piala Dunia 1990, Juventus memboyong Baggio dari Florence dengan mahar 8 juta pounds --rekor transfer termahal waktu itu. Padahal Baggio adalah sang pahlawan yang membawa Fiorentina ke final Piala UEFA. Sang idola yang mencetak gol-gol nan menawan yang keindahannya serupa patung-patung karya Michaelangelo di kota Florence.
Kehilangan Baggio membuat fans meradang. Akses menuju pusat kota diblokir. Jalur kereta menuju Turin pun ditutup. Bendera-bendera Juventus dibakar. Buruh-buruh di Florence melakukan pemogokan massal. Semua itu lagi-lagi karena Juventus.
Kamp pelatihan timnas piala dunia, yang terletak di Converciano kota kecil dekat Florence, jadi sasaran. Mereka menyerbu dan mencari Baggio. Seluruh pemain Juventus pun tak luput dari sasaran. Tapi toh semua aksi sakit hati itu tak menghentikan kepergian sang empunya Nomor 10.
Obat luka baru datang setahun kemudian, ketika Baggio kembali ke Artemio Franchi dengan status sebagai "gobbi". Siapa sangka hati Baggio masih tetap untuk La Viola.
Saat Juventus mendapatkan penalti, Baggio menolak jadi eksekutor. Pada akhir pertandingan, tanpa diduga Baggio pun mengalungkan syal Fiorentina di lehernya, berkeliling stadion sebagai tanda permintaan maaf sembari menitikan air mata. Sebuah adegan yang mengharu biru terjadi di Artemio Franchi. Hal yang tak pernah diulang karena Fiorentina tak pernah lagi menjual bintangnya ke Juventus.
Tapi kebencian Florence untuk Juventus tak pernah sirna. Bahkan mereka pun tak segan menggunakan tragedi Heysel, saat Juventus harus kehilangan 39 fansnya akibat rusuh dengan fans Liverpool dalam final Liga Champions, sebagai ejekan.
Yel-yel hinaan menyinggung tragedi Heysel dan dukungan pada Liverpool "We Love Liverpool..We Do.." selalu terdengar nyaring saat Juventus dan Fiorentina bertemu. Bahkan jamak ditemui fans Fiorentina yang memakai jersey dengan angka "-39" atau nama "Gobbi" di punggungnya.
Kebencian yang amat dalam itu nyatanya ditanggapi dingin oleh fans Juventus. Mereka lebih memilih berseteru dengan AC Milan atau Inter Milan ketimbang Fiorentina. Kebencian Florence ke Turin lewan sepakbola ini memang sepihak.
Mungkin inilah yang membuat dendam penduduk Florence tak pernah usai. Cinta yang tak berbalas memang sakit, tapi kebencian yang bertepuk sebelah tangan pun tak kalah sakitnya.
====
*ditulis oleh @aqfiazfan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar