Selasa, 08 September 2015

Sindikat Mafia dan Bobroknya Sepakbola Sisilia

Selatan Italia memang punya nama besar. Ia tak melulu tentang Napoli dan Maradona-nya. Dari Pulau Sardinia, hadir Luigi Riva yang membawa Cagliari Calcio menjuarai Liga Italia tahun 1970. Penyerang kidal yang biasa dipanggil Gigi ini juga berhasil mencetak gol terbanyak pada musim yang sama.

Pernah ada cerita lucu sekaligus bikin ngilu pernah dialaminya saat ia dan rekan-rekannya di Cagliari sedang menjalani sesi latihan. Barangkali dulu, sesi latihan klub tidak setertutup sekarang. Seorang bocah menyaksikannya latihan, ia duduk di belakang gawang. Tanpa sengaja, Gigi yang memang terkenal dengan akurasi tendangan kerasnya itu menendang bola ke arah gawang. Bola masuk ke gawang, namun si anak yang duduk tepat di balik jaring gawang juga kena getahnya, ia mengalami patah tulang lengan.

Tapi memang Maradona-lah yang pernah memantik cerita tentang selatan Italia vs utara Italia. Diego memang orang asing, pendatang dari Argentina. Namun orang asing ini pada akhirnya menjadi pahlawan sekaligus "tuhan" buat orang-orang Napoli. Di era Maradona itulah Napoli berhasil merebut dua gelar scudetto, satu piala UEFA, Copa Italia dan Supercoppa Italiana.

Keberhasilan Napoli merebut deretan gelar tak hanya berbicara soal siapa yang menjadi peringkat satu atau dua. Kemenangan kali ini bisa menjadi semacam bukti kalau sesekali, orang-orang selatan yang dipinggirkan, yang dicap sebagai biang kerok dan beban negara itu, bisa juga menang melawan orang-orang utara yang kaya.

Istilah keberhasilan perlawanan rakyat selatan sering dibawa-bawa jika membahas adidayanya Napoli di era Maradona. Namun yang menjadi pertanyaan, sebenarnya siapa dan apa yang dilawan oleh orang-orang Italia Selatan ini?

Cerita tentang kesenjangan antara wilayah selatan dan utara Italia bukan barang baru. Wilayah utara Italia adalah wajah Italia yang melambangkan kemakmuran, modernisasi dan kemajuan di sana-sini. Sementara bagian selatan ibarat tempat isolasi kaum miskin. Di selatan Italia, kisah yang diperdengarkan turun-temurun adalah kisah tentang kekumuhan.

Robert Putnam, seorang profesor ilmu politik dari Universitas Harvard, memandang keberadaan modal sosial berkorelasi secara positif dengan penguatan berbagai institusi demokrasi. Bahkan melebihi itu semua, modal sosial juga berbanding lurus dengan keberlanjutan dan pertumbuhan ekonomi.

Tesis Putnam ini didukung oleh studi komparatifnya di Italia Utara dan Italia Selatan. Putnam menemukan bahwa di Italia Utara yang relatif maju tingkat industrialisasinya memiliki kekayaan modal sosial yang lebih melimpah dibanding Italia Selatan.

Italia Utara juga dikenal dengan komune. Semacam kelompok masyarakat yang dibentuk secara sukarela, agaknya mirip dengan asosiasi. Konon, komune inilah yang berperan besar dalam merawat dan mengembangkan tradisi kewargaan dalam masyarakat Italia Utara.

Sementara Italia Selatan bukannya tak punya komune. Mereka pun memiliki, hanya saja tidak sebaik komune yang ada di Utara. Apalagi jika menyadari kalau kehidupan sosial masyarakat Italia Selatan menunjukkan gelagat dan kecenderungan ketidakpercayaan sosial.

Halaman: 1 2 3 4
{ Read More }


Kamis, 13 Agustus 2015

Juventus, Calciopoli, dan Wajah Buruk Sepakbola Italia

Saat Juventus melawan AS Roma pada leg kedua musim kemarin banyak kontroversi tersaji. Dimulai dari penunjukkan tiga penalti oleh wasit, hingga diusirnya allenatore Roma, Rudi Garcia, saat pertandingan masih berlangsung.

Pertandingan ini akhirnya dimenangkan sang tuan rumah Juventus setelah tendangan voli Leonardo Bonucci di menit ke-86 menghujam sudut kanan gawang Roma yang dikawal Lukasz Skorupski sehingga mengubah skor menjadi 3-2. Namun dengan kemenangan ini, tim yang berjuluk Bianconeri itu kembali mendapat sorotan.

Banyak pihak yang menilai bahwa tuan rumah Juventus terlalu diuntungkan oleh wasit Gianluca Rocchi. Keberpihakan Rocchi sangat terlihat ketika memberikan penalti kedua pada Juventus padahal Paul Pogba yang dilanggar Miralem Pjanic berada di luar kotak penalti.

Seluruh penonton yang menyaksikan laga itu seolah menguapkan ingatan mereka tentang Juventus yang terlibat Calciopoli, skandal pengaturan skor liga Italia, yang terjadi pada 2006 silam. Saat itu, Juventus dituduh melakukan penyuapan terhadap wasit untuk memuluskan langkah mereka meraih gelar juara pada musim 2004/2005 dan 2005/2006.

“Apakah Juventus kembali ‘bermain’ dengan wasit?” pertanyaan ini sontak muncul ke permukaan. Komentar Francesco Totti pasca pertandingan pun semakin memanaskan situasi ini: “Juve menang karena memiliki kaitan (dengan wasit) atau dengan kejahatan.”

Tak hanya Totti yang memanaskan isu sensitif ini. Pendukung rival Juventus seperti AC Milan, Inter Milan, Roma, Lazio, Fiorentina dan tim – tim lain yang membenci Juventus seolah mendapatkan bahan untuk mengolok-olok para pendukung si Nyonya Tua.

“No Penalty, No Party”, begitu kata mereka menyikapi kontroversi pada Minggu malam itu. Para haters Juve itu mengisyaratkan bahwa Juventus selalu mendapatkan keuntungan dari wasit dengan terlalu seringnya mendapatkan hadiah penalti.

Lantas, benarkah Juventus sangat sering mendapatkan hadiah penalti? Franklin Foer, seorang redaktur senior The New Republic, dalam bukunya ‘memahami dunia lewat sepakbola’ mengatakan, hubungan Juventus dan penalti atau lebih luasnya mendapat pertolongan wasit sudah terjalin sejak lama. Jauh sebelum Juve terjerumus ke Serie B, tepatnya pada 1930-an, Juventus telah mendapatkan hati dari para pengadil lapangan sehingga menjadi penguasa di Italia.

Saat itu, keluarga Agnelli, pemilik Juve yang juga pemilik perusahaan Fiat dan pemegang persentase substanstif pada Bursa Efek Milan, menjadi penguasa pra-globalisasi sebagian besar dunia Latin. Namun mereka tak memamerkan pengaruhnya, mereka hanya mengontrol politisi yang mengurusi kerajaan bisnis mereka.

Masih menurut Frankilin Foer, kecurangan yang dilakukan Juve ini sampai melahirkan sebuah situs bernama anti-juve.com (sayangnya, saat ini sudah tak bisa diakses). Dalam situs tersebut menghadirkan banyak cuplikan-cuplikan pertandingan di mana Juve selalu diuntungkan wasit, di mana yang paling sering terjadi adalah banyaknya gol-gol lawan yang sering dianulir wasit.

Dugaan kecurangan yang dilakukan Juventus semakin menguat ketika pada awal 1990-an tangan kanan Agnelli didakwa atas segala jenis tuduhan korupsi. Hal ini terungkap ketika Agnelli mengaku bahwa Fiat telah mengeluarkan suap pada banyak pihak senilai 35 juta dolar sepanjang 10 tahun terakhir.

Kehilangan kuasa dalam ranah politik memaksa Fiat dipukul mundur oleh pesaing luar negeri dan mulai memiliki banyak hutang. Di titik inilah hubungan mesra antara politik dan Juventus terhenti.

Politik memang berkaitan erat dengan sepakbola Italia. Maka tak heran, ketika Juve ‘kolaps’ pada 90-an, muncul tim lain yang kemudian menjadi pesaing utama Juve dalam hal dominasi Serie A. Siapa lagi kalau bukan AC Milan.


Halaman: 1 2 3
{ Read More }


Perjalanan Panjang Luciano Moggi yang Belum Selesai

Pengadilan Tinggi Italia, Cassazione, telah menjatuhkan putusan final terkait skandal Calciopoli, di antaranya adalah membebaskan mantan Direktur Umum Juventus Luciano Moggi dari dua tuduhan penipuan olahraga.

Moggi dianggap sebagai salah satu tokoh utama dalam skandal yang mengguncang Italia pada 2006 itu. Bianconeri mendapat sanksi terberat berupa degradasi paksa ke Serie B, dan sepasang Scudetto mereka dicabut. Sebelumnya, Moggi dianggap sebagai dalang Calcipoli yang mengatur sejumlah hasil laga di Serie-A.

Dia juga terbukti menjalin percakapan telepon dengan Pierluigi Pairetto yang merupakan mantan Ketua Komisi Wasit Italia.

Namun dari hasil putusan tersebut, Moggi masih belum bisa terlibat di dalam aktivitas sepakbola. Dan itu menandakan perjalanan Moggi mencari keadilan belumlah sepenuhnya tuntas. Dalam hal tersebut, kendala Moggi sebenarnya disebabkan limitasi kasus yang telah kadaluarsa.

Klik gambar untuk memperbesar.

{ Read More }


Minggu, 09 Agustus 2015

Derbi Della Mole: Torino yang Lebih Besar di Turin

 "Juventus adalah timnya para pria berbudi pekerti, pionir industri, Yesuit, konservatif dan para borjuis kaya, sementara Torino adalah timnya para pekerja, buruh migran dari provinsi tetangga, warga kelas bawah dan kaum miskin," Mario Soldati, novelis kelahiran Turin.

Awal mula persaingan ditandai dari berdirinya kesebelasan Torino yang lahir di tahun 1906, menyusul pembentukan kembali Football Club Torinese dari beberapa penggurus Juventus yang membangkang, termasuk mantan presiden Juventus dan penyandang dana terbesar, Alfredo Dick.

Alfredo mengajak beberapa pemain dari Football Club Torinese, salah satu kesebelasan sepakbola paling tua di Italia, untuk bergabung. Maka terbentuklah Torino seperti yang kita kenal sekarang ini: sebuah kesebelasan yang lahir dari pemberontakan, khas kelas pekerja.

Derby antara kedua kesebelasan pun baru mulai dimainkan pada 1907, pertemuan pertama itu juga menjadi pertandingan resmi pertama milik Torino. Derby della Mole yang memiliki nama sederhana, Derby Turin,jelas kalah pamor jika kita membandingkannya dengan Derby della Madonnina (AC Milan - FC Internazionle), Derby della Capitale (AS Roma - SS Lazio), atau bahkan Derby D'Italia (Juventus - FC Internazionale).

Sejarah derby pertama menceritakan sebuah cerita permusuhan yang konyol. Ketika itu seseorang mengunci Alfredo di ruang ganti sampai pertandingan selesai. Hal tersebut membuat Alfredo selalu menanyakan tentang jalannya pertandingan selama beberapa hari.

Sebutan Derby della Mole sendiri diambil dari nama Mole Antonelliana. Sebuah bangunan setinggi 167 meter di pusat kota Turin, Italia. Gedung ini dibangun mulai tahun 1863 setelah unifikasi Italia, dan selesai pada tahun 1889. Dinamakan begitu untuk menghormati Antonelli sang arsitek, bangunan ini awalnya merupakan sebuah sinagog (tempat ibadah untuk penganut Yahudi) dan kini menjadi Museo Nazionale del Cinema, sekaligus diklaim sebagai museum tertinggi di dunia.

Torino Punya Basis Terbesar di Kota Turin

Torino merupakan salah satu kesebelasan yang tergolong tradisional di Italia. Mereka mempunyai basis pendukung kelas pekerja yang kuat di kota Turin. Menjamurnya pendukung berlatar belakang kelas pekerja disebabkan kota tersebut sebagai daerah perindustrian, termasuk pusat bisnis dan kebudayaan di bagian barat laut Italia, ibu kota region Piemonte dan terletak pada tepi barat Sungai Po. Populasi kotanya adalah 908.000 (sensus 2004), kemudian bertambah menjadi 1,7 juta penduduk namun wilayah metropolitannya mempunyai sekitar 2,2 juta penduduk.

Turin terkenal dengan pusat tempat penghasil Kain Kafan dari Turin yang disimpan di Katedral Santo Yohanes Pembaptis. Kota Turin mempunyai dua kesebelasan sepakbola yang terkenal, Juventus dan Torino Calcio. Selain itu, Turin juga adalah tempat markas perusahaan otomotif FIAT.

Meskipun berlatar belakang dari kelas pekerja, para pendukung Torino tak akan segan-segan menghamburkan uang mereka untuk membeli satu tiket pertandingan. Hal itu akan mereka lakukan meskipun kesebelasan Torino bermain di Roma yang cenderung jauh atau di Palermo yang berada di kawasan Sisilia.

Halaman: 1 2 3
{ Read More }


Superga: Bukit Yang Mengubah Kekuatan Sepakbola Eropa

 “Pada 4 Mei 1949, kesebelasan Torino yang begitu digdaya menguasai sepakbola Italia, meraih Scudetto kelima berturut-turut mereka. Kecelakaan pesawat yang menewaskan seluruh skuat mengubah tawa menjadi tangis bagi seluruh warga Italia.”

Kotak pos itu berdiri tegap depan halaman rumah kapten Torino, Valentino Mazzola, yang begitu padat dengan tumpukan surat dari para tifosi. Sembari menghabiskan waktu kosongnya saat sedang libur berlatih, Mazzola akhirnya mencoba untuk membuka kotak pos dan mengambil seluruh isinya sambil melihat-lihat surat yang datang.

Ternyata di sana terdapat satu surat dari sahabatnya asal Portugal yang merupakan pesepakbola terkenal kala itu, Francisco Jose Ferreira. Setelah dibuka, ternyata kapten Benfica tersebut menyampaikan undangannya pada Torino untuk menghadiri partai testimoni. Hal tersebut dilakukan atas rasa penasaran Ferreira terhadap kekuatan Torino. Ya, wajar saja, sebab Benfica sangat jarang untuk bertemu Torino karena mereka hanya akan bertemu di pertandingan kompetisi Eropa. Dan itu tidak dapat dipastikan waktunya. Ferreira dan Benfica pun tak ingin menunggu terlalu lama.

“Untuk Valentino, sahabatku. Saat ini kalian merupakan kesebelasan terkuat di Eropa. Saya yakin, dengan kehadiran kalian masyarakat pasti akan berduyun-duyun datang memenuhi stadion partai testimoni saya.”

Mazzola pun akhirnya merespons baik permintaan sahabatnya dengan memberi balasan jika ia akan menyampaikan permohonan kepada Novo (Presiden Torino) yang kebetulan sang Presiden juga mengidolakan Ferreira.

Petinggi Torino pun tidak keberatan. Asalkan Mazzola dan pemain yang lainnya tetap tampil maksimal saat berlaga melawan Inter Milan yang digelar satu hari sebelumnya. Pertandingan berakhir imbang 0-0, tetapi itu sudah cukup bagi Torino untuk memastikan diri keluar sebagai juara. Dengan persembahan Scudetto kelima secara beruntun akhirnya sang Presiden menepati janjinya kepada pemain kesayangannya.

Pagi, 3 Mei 1949 Il Toro berangkat ke Lisbon dengan membawa 18 pemain inti dan 5 staf pelatih. Duel berlangsung di malam harinya. Dengan susanan stadion yang sesuai ramalan Ferreira, stadion disesaki puluhan ribu orang untuk melihat penampilan kesebelasan terbaik di Eropa.



Pertandingan berjalan sangat seru dan menghibur. Tujuh gol terjadi dalam pertandingan testimoni tersebut. Pada akhirnya tuan rumah, Benfica, keluar sebagai pemenang dengan skor tipis 4-3. Mazzola menyudahi pertandingan dengan riuh tepuk tangan penonton yang puas dan pelukan hangat dari sahabat Portugalnya.

Halaman: 1 2 3
{ Read More }


Sabtu, 08 Agustus 2015

“Catenaccio” Lahir dari Kultur Pecundang Orang Italia

Ciri khas sepakbola Italia yang cenderung bertahan tentu tak lahir dengan sendirinya, cattenacio lahir dari filosofi kehidupan masyarakat Italia itu sendiri.

Budaya sepakbola Italia memandang hasil akhir adalah segalanya. Sepakbola dilihat dari satu ukuran statistik: menang atau kalah. Gialuca Vialli dalam buku The Italian Job memberikan komparasi menarik terkait budaya sepakbola Italia ini. Kali ini ia membandingkannya dengan Inggris, negara sepakbola modern berasal.

Dalam bukunya itu Vialli menganalogikan kultur kedua negara ini dengan dua petinju amatir. Sebut saja petinju A dan petinju B.Saat bertanding, petinju A adalah petarung yang agresif. Ia akan menyerang lawannya tanpa ampun. Pertahanan terbaik adalah menyerang, itulah filosofi yang diembannya. Di atas ring, petinju A ingin menunjukan hasil latihan kerasnya sepanjang tahun kepada penonton. Ia bertarung memakai hati.

Lain hal dengan petinju B. Saat bertarung, ia lebih bersabar. Badannya melenggak meliuk menahan segala gempuran. Orang akan jemu dan kelu meliat tingkahnya yang enggan menyerang. Ia menunggu momen yang pas, hingga akhirnya hook matang ia hantamkan kepada lawannya. Si petinju B bertarung memakai otak dan menggunakan kalkulasi.

Bagi petinju A, menang dan kalah adalah dinamika kehidupan. Maka ia siap menanggung segala konsekuensi dari sebuah pertarungan: jadi pemenang atau pecundang sama saja. Hal yang paling penting adalah bertarung dengan hati.

Ini berbanding terbalik dengan petinju B. Baginya, pertarungan adalah bagian dari hidup dan mati. Karena itu, ia pikirkan segala cara agar tetap terus bertahan hidup, tak peduli apapun caranya dan ketidaksukaan orang padanya.Toh dalam benaknya hasil lebih dihargai orang daripada proses.
Pasti Anda sudah bisa menebak mana petinju yang merepresentasikan sepakbola Italia, bukan? Dari analogi diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa: “Di Italia sepakbola adalah pekerjaan, sementara di Inggris sepakbola adalah permainan”. Demikian kata Vialli. “Inggris bermain dengan hati, Italia bermain dengan otak” pun lalu jadi tagline ciri khas buku The Italian Job itu.

Di Italia, fakta bahwa para gladiator berdarah-darah di atas lapangan hijau atau mati-matian berusaha merebut kemenangan, jadi satu hal yang diabaikan. Jika hasil akhir tak berpihak, maka mereka tetap saja pecundang. Karena inilah Italia cenderung mengedepankan sistem pertahanan setelah mereka unggul, entah itu unggul tipis atau unggul banyak. Lihat saja sikap Prandelli yang menarik Verrati dan memaikan Thiago Motta saat mereka unggul 2-1 pada pekan lalu. Ketika kita bicara hal ini maka kita berbicang soal taktik, entah itu taktik dalam konotasi positif maupun negatif.

Kalau pun Sun Tzu masih hidup, para pelatih Italia mungkin yang akan paling antusias berdiskusi dengannya. Dalam menerapkan taktik, Sun Tzu menyarankan pendekatan yang berdasarkan kualitas dan karakteristik lawan. Inilah ciri dari sepakbola Italia: variasi dan fleksibilitas taktik. Tak ada satu strategi yang paling unggul.

Di Italia, para pelatih menggunakan banyak sistem yang berbeda. Sistem ini yang kadang dikritik oleh pesepakbola di luar Italia. “Fleksibilitas taktis selalu dikritik negatif dan sering dikaitkan dengan sikap reaktif. Asumsi dasar di masyarakat adalah bahwa yang lemah adalah yang reaktif, sementara yang kuat proaktif. Tapi, ketika seorang pelatih Italia melakukan perubahan formasi, ini bukan hanya sekadar reaktif atau proaktif, tapi sedang mencari sebuah solusi,” bela Vialli menyikapi kritikan tersebut.

Flesibilitas taktik ini yang membuat seorang pemain harus bisa seadaptif mungkin terhadap sebuah sistem. Lihat saja Italia saat ini, ada banyak variasi yang Cesare Prandelli terapkan. Mulai dari 4-3-3, 4-3-2-1, 4-4-2 , 3-5-2 hingga 3-4-3. Dengan banyaknya variasi ini mungkin akan membuat pemain bingung. Tapi toh dalam kultur sepakbola Italia, tak ada alasan untuk tak bisa beradaptasi dengan taktik. Bisa tak bisa ya harus bisa!
{ Read More }


Kamis, 06 Agustus 2015

Sejarah, Kemegahan, dan Meredupnya Derbi Della Madonnina

Derby Della Madonnina. Begitu pertemuan Milan dengan Inter dikenal. Derbi dikota Mediolanum era modern merupakan duel antar tim satu kota paling akbar di dunia. Nama tersebut dipakai sebagai bentuk penghormatan pada patung Bunda Maria yang terletak di atas Katedral Milan, yang oleh warga lokal disebut sebagai 'Madonnina ("Madonna Kecil" dalam bahasa Italia).

Kedua tim adalah raksasa Italia dan Eropa yang telah menyarangkan begitu banyak trofi ke kota yang juga dikenal sebagai kota mode ini. di Jika melihat torehan gelar yang pernah diraih, kedua tim yang bermarkas di San Siro ini telah mengumpulkan 36 Scudetto (Milan 18, Inter 18), 12 Coppa Italia (Milan 5, Inter 7), 10 Liga Champions (Milan 7, Inter 3), 3 Piala UEFA (Inter 3, Milan 0,) 5 Piala Super Eropa (Milan 5, Inter 0) serta 2 Piala Dunia Klub (Milan 1, Inter 1). Dalam raihan scudetto, Milan hanya tertinggal dari Turin yang telah mendapatkan 37 gelar (30 Juventus, 7 Torino) dan di kancah Eropa, belum ada kota lain di eropa selain Madrid yang pernah merasakan datangnya trofi kemenangan Liga Champions ke kota mereka sampai 10 kali lebih.

Hal yang juga belum dapat disamakan oleh Lisbon, London, maupun Manchester yang juga memiliki dua klub besar di dalam satu kota. Selain itu, tidak sedikit juga pemain bintang dunia yang pernah bermain untuk kedua klub tersebut, nama-nama seperti Ronaldo, Roberto Baggio, Clarence Seedorf, Hernan Crespo dan Zlatan Ibrahimovic pernah merasakan Derby Della Madonnina dengan seragam Milan maupun Inter. Ditambah lagi, rivalitas antar suporter yang saling berlawanan memenuhi curva nord dan curva sud San Siro, semakin memanaskan pertemuan kedua tim. Hal ini cukup membuktikan bahwa Milan adalah kota yang memiliki kultur dan prestasi besar dalam bidang sepakbola.

Sepanjang sejarahnya di semua kompetisi (resmi dan tidak resmi) Milan dan Inter sudah berhadapan 282 kali. Milan lebih baik dengan sudah mengumpulkan 110 kemenangan, sedangkan Inter meraih 99 kemenangan . Sebanyak 73 laga lainnya berkesudahan imbang.

Paolo Maldini menjadi pemain yang paling sering tampil dengan total bermain pada 56 edisi derby. Sementara yang memegang status topskorer sepanjang masa adalah Andriy Shevchenko dengan 14 golnya.

Milan Cricket and Football Club dan F.C. Internazionale Milano

Pada awalnya hanya ada satu klub sepakbola di Kota Milan. AC Milan merupakan salah satu klub sepakbola tertua di Italia. Awalnya klub ini didirikan dengan nama Milan Cricket and Football Club pada 16 Desember 1899 oleh Herbert Kiplin dan Alfred Edwards yang berasal dari Nottingham, Inggris. Milan kemudian memenangi gelar liga nasional pada tahun 1901, 1906 dan 1907.

Di tahun 1908 Milan terpecah karena ketidaksepakatan di dalam klub soal pembelian pemain asing. Sejak saat itulah lahir F.C. Internazionale Milano, dan sejak saat itu juga rivalitas antara dua klub satu kota itu pun dimulai. Di awal perseteruan keduanya, salah satu skor terbesar dalam pertemuan Duo Milan itu datang pada 3 maret 1918, saat Milan menghantam Inter 8-1.

Di masa lalu, Inter dikenal sebagai klub yang didukung oleh kelompok borjuis sementara Milan adalah klub yang didukung kelas pekerja. Media sering menyebutkan ultras Milan sebagai pendukung politik sayap kiri yang berhubungan dengan paham sosialis sementara Ultras Inter beraliran politik sayap kanan yang berhubungan dengan Konservatisme atau Liberalisme. Suporter Milan dan Inter juga seringkali disebutkan berasal dari dua kalangan yang berbeda.

Pendukung Milan mayoritas adalah penduduk kelas bawah yang bekerja sebagai buruh atau pekerja kasar sementara Inter didukung oleh masyarakat golongan menengah keatas. Hal-hal tersebut telah menjadi bumbu pedas yang memanaskan pertemuan kedua tim di lapangan dan persaingan mereka di liga setiap musimnya.

Namun di era modern hal tersebut dianggap tidak lagi relevan karena Milan dimiliki oleh mantan perdana menteri konservatif Silvio Berlusconi, sementara Inter dipunya oleh Massimo Moratti, yang kemudian melepas sebagian sahamnya ke pebisnis asal Indonesia Erick Thohir.

Setelah memisahkan diri, Inter memenangkan gelar liga Italia pertamanya pada musim 1909/1910 dan berkembang menjadi klub yang lebih kuat dari AC Milan yang setelah terpisah dari Inter tidak mampu menyamai prestasi di era sebelumnya dan lebih sering menjadi tim papan tengah. Setelah perang dunia kedua, Milan kembali menjadi tim kuat di Italia dan berhasil memenangkan scudetto pertama mereka dalam 44 tahun pada 1951. Pada masa itu, skuad Milan dihuni oleh sejumlah pemain-pemain hebat seperti Lorenzo Buffon, Cesare Maldini dan Trio penyerang asal Swedia: Gunnar Gren, Gunnar Nordahl dan Nils Liedholm.

Di era 1960-an, Inter jadi klub dengan kisah sukses lebih mengilap: memenangi Piala Champions dua kali beruntun dan menjuarai Piala Interkontinental (kini Piala Dunia Antarklub) juga dua kali beruntun. Namun di akhir 1980-an sampai awal 1990-an gantian Milan yang menguasai Italia dan juga Eropa.

Halaman: 1 2 3 4
{ Read More }


IconIconIconFollow Me on Pinterest
//add jQuery library