Jumat, 31 Juli 2015

Curva Sud Milano yang menyanyikan You'll Never Walk Alone


Curva Sud medio 1989

Ini adalah bagaimana para fans dari Curva Sud menyanyikan You'll Never Walk

Banyak dari anda telah mendengar dongeng ini. Banyak fans diluar Liverpool yang juga menyanyikannya (untuk contoh orang-orang pengikut Jerman, Belanda dan klub Skotlandia) yang telah setia bergema dengan lagu kami - di Milan fans telah disesuaikan dengan lagu dan mengatur versi mereka sendiri, mengubahnya dengan drum dan nyanyian staccato. Itu keunikan Italia. Uniknya Milanese.

Awal 2000an Fossa dei Leoni (bubar) ultras mereka bahkan telah menghasilkan sebuah CD disebut 'Da Liverpool San Siro la leggenda continua. Dari Liverpool ke San Siro legenda berlanjut) termasuk nyanyian yang direkam di Anfield dan di San Siro (yang saya pikir masih tersedia di Red All Over The Land fanzine yang berhubungan baik dengan pendukung Milan).

Tapi versi menyentuh lain ketika fans Milan menyanyikan YNWA yang saya ingin bahas. Ini tetap menjadi salah satu yang paling abadi (dan emosional) dalam kenangan sepak bola. Aku sedang menonton program Sportsnight BBC pada hari Rabu malam hari, empat hari setelah Hillsborough. Kesedihan bagi semua orang, saya rasa itu adalah upaya putus asa untuk menemukan beberapa tontonan sepakbola dan untuk menemukan makna semua itu.

Program itu menayangkan hal yang begitu istimewa dan diterbitkan oleh The S * n koran yang sangat pagi. Liverpudlians bergegas untuk membakar salinan di jalan atau muntah di selokan terdekat.

Milan sedang bermain vs Real Madrid di leg kedua Piala Eropa malam itu, setelah leg pertama 1-1. Itu adalah Milan yang agung, karya Sacchi (yang kemudian ia mengakui dia meniru gaya Paisley saat memenangkan Piala Eropa) dengan trio Belanda yang indah Rijkaard, Van Basten dan Gullit menjadi ujung tombak, Baresi, Maldini dan Costacurta's menjadi pertahanan megah.

Suasana di acara TV itu acuh tak acuh - hampir tak tampak masalah, presenter dan komentator itu autopilot. Aku duduk di sana, saya mengukur 40% menurut volume, menatap kosong pada hitam dan putih layar portabel.

Permainan dimuai dan tak lama wasit meniup peluit dan mengambil bola. Itu adalah sinyal untuk mengheningkan cipta. Aku, seperti banyak orang lain Aku yakin, merasa bingung. Aku melihat pada San Siro sesaat terdiam. Tepuk tangan bergelombang di stadion. Lalu perlahan, tapi pasti, lagu YNWA mulai bangkit di Curva Sud, intensitas semakin tinggi di menit itu.

Aku menangis. Ada air mata di mata saya yang saya usap, bahkan sampai sekarang kalau saya mengenang kembali. Tetap sampai hari ini, itu tindakan solidaritas klasik oleh satu kelompok penggemar lain. Permainan terus berlanjut, Madrid compang-camping, Milan menang 5-0 dalam salah satu pertunjukan terbesar dalam sejarah kompetisi. Para pemain dan penggemar mereka naik ke status legendaris malam itu.

Karena itu tindakan kebaikan yang sempurna oleh para penggemar milan pada tahun 1989 mereka
selalu memperoleh repsect paling tinggi oleh fans Liverpool (terutama dari usia saya). Dari semua banyak hal yang dikatakan dan dilakukan oleh seluruh penggemar sepak bola dunia setelah Hillsborough, bagiku itu tetap yang paling mengharukan, dan tak terduga.

Halaman: 1 2
{ Read More }


Tentang Curva Scirea dan Curva Nord Juventus



La Curva Scirea

Kelompok superter sejati Juventus yang pertama muncul di pertengahan tahun 70-an. Saat itu ada dua kelompok tifosi sayap kiri dan organisasinya masih belum bagus. Dua kelompok itu adalah Venceromos dan Autonomia Bianconera. Lalu di tahun 1976 terbentuklah 2 kelompok suporter ultras sejati Juve, Fossa Dei Campioni dan Panthers. Baru setahun kemudian kelompok tifosi ultras yang legendaris berdiri, Fighters. Kelompok ini diprakarsai oleh Beppe Rossi. Beliau merupakan tokoh yang sangat berpengaruh bagi seluruh tifosi Juve dan menjadi panutan para ultras muda di Turin.

Awal era 80-an kelompok-kelompok suporter baru bermunculan. Gioventu Bianconera, Area Bianconera, dan Indians adalah beberapa diantaranya. Dua kelompok ultras yang ekstrim juga berdiri di periode ini, Viking dan Nucleo Armato Bianconero (N.A.B). Dua kelompok ini benar-benar menjadi grup tifosi yang dihormati di dalam dan di luar Delle Alpi. Viking dan N.A.B adalah kelompok yang benar-benar mengingatkan orang pada kata hooligans. Itu dikarenakan mereka tidak pernah takut bertempur dengan supporter klub manapun di dalam atau di luar stadion. Tahun 1983 kelompok Juventini yang berbeda dibentuk untuk menjalani partai tandang pertama mereka ke Eropa (Liege, Belgia tahun 1983).

Tahun 1987 kelompok tifosi bersejarah Fighters akhirnya dibubarkan setelah berjaya selama 10 tahun. Penyebabnya saat itu karena terjadi banyak kekerasan dan perkelahian dalam partai tandang ke Florence, melawan rival Juve, Fiorentina. Sebagian besar anggota Fighters lama, bersama dengan anggota Indians dan Giuventu Bianconera, membentuk sebuah kelompok supporter ultras yang baru, Arancia Meccanica (Clockwork Orange). Nama ini terinspirasi oleh film Stanley Kubrick berjudul sama yang populer saat itu.

Nama itu menimbulkan kesan kekerasan dan negatif sehingga menimbulkan banyak masalah. Karena itu kelompok ini dipaksa untuk merubah nama kelompok mereka. Para fans sepakat untuk membodohi politisi kota Turin dengan merubah nama kelompok mereka menjadi Drughi. Drughi merupakan nama geng dimana tokoh utama film Clockwork Orange, Alex, bergabung. Lucunya, para politisi Turin terlambat menyadari hal ini. Drughi pun berkembang dan menjadi kelompok supporter terpenting dalam sejarah Juventus. Dalam kurun waktu antara 1988 sampai 1996 Drughi memiliki 10.000 anggota.

Pada tahun 1993 beberapa anggota Drughi memperoleh otonomi dan menghidupkan kembali kelompok tifosi lama, Fighters. Empat tahun setelahnya Fighters dan Drughi bersaing untuk menjadi yang terbaik di La Curva Scirea. Drughi menggantung banner mereka tepat di tengah La Curva Scirea Delle Alpi, sedangkan Fighters harus memasang banner mereka di sebelah kanannya.

Setelah Juve memenangkan Piala Champions atas Ajax tahun 1996, para supporter sangat bergembira dan memutuskan untuk berkolaborasi. Drughi, Fighters, dan beberapa kelompok kecil lainnya di La Curva Scirea memutuskan untuk bersama mendukung Juve dibawah satu nama, Black and White Fighters Gruppo Storico 1977. Nama Fighters pun memperoleh kembali kejayaan seperti awalnya tepat 20 tahun sejak kelompok supporter itu berdiri.

Halaman: 1 2

{ Read More }


Fossa dei Leoni dan Curva Sud Milano: Hal memalukan yang melegenda

Kebersamaan Fdl dan BRN

La Fossa dei Leoni adalah kombinasi ultras dari Milan, didirikan pada 1968. Fu il primo gruppo ultras vero e proprio nato in Italia. Kelompok ultras moderen pertama di Italia. Bersama Brigate Rossonere dan Commandos Tigre mereka membentuk trio yang memimpin Curva Sud selama 20 tahun, hegemoni berakhir tahun 2005.

Awal Mula

Dilahirkan ketika sekelompok anak laki-laki mulai berkumpul di jalan 18 dari sektor-sektor populer Stadion San Siro, mengenakan kaus dari Milan dan membawa bendera dan kantong-kantong confetti.
Nama ini dipilih karena nama panggilan yang diberikan kepada daerah tua di Milan. Tempat yang biasa ditempati ada di kurva selatan bagian tengah kanan.

Pada 1972 ,Fossa dei Leoni bergerak lurus. Pada tahun yang sama mereka membuat lagu mereka sendiri - 'Leoni Armati' (Armed Lions), terinspirasi oleh film Italia 'L'armata Brancaleone'.  Pada tahun-tahun itu juga menekan identifikasi dari berbagai kelompok politik ultras, dan paham yang diidentifikasikan adalah sayap kiri, mereka selalu membawa spanduk besar bertema El Che Guevara

Selama bertahun-tahun, FdL telah menjadi model bagi banyak kelompok-kelompok ultras di Italia, semisal bagaimana cara mereka menampilkan koreografi kreatif di Curva. Selanjutnya pada tahun 1982 mereka ditampilkan dalam film Italia 'Eccezzziunale ... veramente', di mana aktor Diego Abatantuono memainkan peran pemimpin kelompok itu sebagai Donato 'Ras della Fossa'.

Mengingat bahwa awal dari gerakan Ultras di italia itu terkait erat dengan aktivisme politik di eranya, anehnya, Fossa pernah mengadopsi identitas politik yang jelas. Dikatakan beberapa anggota mereka didominasi orang yang berbelok ke arah kiri, dengan gambar Che Guevara terlihat di San Siro selama tahun-tahun awal pembentukan kelompok.  

Namun banyak dari Ultras di Curva Sud menghindari afiliasi politik dan sementara perpecahan muncul dari perbedaan ideologi antara Commandos, Brigate dan Fossa kelompok yang memimpin Curva selama 20 tahun dalam harmoni, sampai Fossa bubar pada tahun 2005.

Halaman: 1 2 3

{ Read More }


Kamis, 30 Juli 2015

Panathinaikos-Olympiakos: Kebencian Abadi yang Bermula dari Peti Mati



"Oh Dewi, Nyanyikanlah lagu yang mengisahkan penderitaan pasukan Anchean lantaran kemarahan Achilles putra Peleus. (Lalu) dewa manakah yang menghendaki perselisihan itu?" itulah kalimat pembuka dari puisi epik sepanjang sejarah The Iliad Of Homer --sebuah karya sastra yang melegenda dari tanah Yunani.

Yunani negeri kaya mitologi. Punya banyak hikayat tentang dewa-dewa dan para ksatria. Dewa-dewa yang saling bermusuhan dan ksatria yang gemar perang. Nyaris tak ada bedanya dengan sepakbola.

Mengutip ucapan Rinus Michels, bukankah sepakbola itu adalah perang? Dan bukankah sepakbola itu juga sepenting hidup dan mati, seperti dinyatakan Bill Shankly? Dan, dalam perang, kecintaan dan kebencian berlebihan bisa ditolerir karena perang memang tak mengenal standar moralitas.

Ah, tentu saja dua orang itu berlebihan dalam berkata-kata.

Namun nyatanya bagi beberapa orang kalimat itu diresapi, dikhayati, direnungkan dalam-dalam, dan bahkan dibuat nyata dalam alam kehidupan. Dan di negeri para dewalah cerita itu terjadi. Sebuah cerita tentang kebencian mendalam lewat dua rival abadi: Olympiakos dan Panathinaikos.

Menumpahkan Darah Tetanggamu

Kali ini kita terbang ke Negeri Hellas. Menyimak persaingan antara dua kota yang berdekatan. Dua kota yang erat berhubungan semenjak abad kelima sebelum masehi, dan saling menopang demi eksistensi sebuah peradaban. Tapi juga dua kota yang kini terpecah dan saling membenci serta mendendam karena satu hal yaitu: sepakbola.

Dari penamaannya pun kita sudah dibuat sedikit merinding -- Derby The Eternal Enemies. Musuh yang abadi? Ya, permusuhan antara dua kota, Piraeus dan Athena.



Padahal hanya ada jarak teramat dekat yang memisahkan keduanya. Hanya berkisar 10 kilometer. Angka itu sama dengan setengah jarak dari Jakarta ke Bekasi. Tapi memang tetangga kerap hadir untuk dibenci. Mereka yang paling ingin kita hancurkan adalah yang ada di pelupuk mata.

Sebagai kota pelabuhan, Piraeus hadir karena Athena tak memiliki daerah pantai. Ibarat sebuah tubuh, Piraeus adalah tenggorokan Athena. Dari sanalah Athena hidup dan mengenal dunia. Betapa pentingnya Piraeus bagi Athena. Sejak abad 5 SM saja para teknokrat Athena tak segan membangun benteng sepanjang 10 km demi memuluskan rute perjalanan Piraeus-Athena dari hadangan tentara Sparta. Tak dapat disangsikan, sebagai kota pelabuhan Piraeus adalah kota kelas pekerja yang masyarakatnya bekerja dengan otot. Tentu beda dengan Athena, tanah para pemikir dan filsuf yang menuhankan otak. Karena itu selalu saja ada konflik di antara mereka.

Para aristoktrat di Athena mencibir kebodohan dan asal-usul tetangganya. Bagi mereka, orang-orang Piraeus adalah anak haram yang lahir dari perzinaan antara pelaut dari Amerika dan pelacur pelabuhan. Sementara penduduk Piraues memendam iri yang mendalam terhadap keborjuisan orang-orang Athena. Tak pernah berhenti. Tak pernah usai. Mulai 5 abad sebelum masehi hingga awal abad ke-20.

Pages: 1 2 3 4
{ Read More }


Membuat Stein Abadi dan Herrera Lebih Muda Enam Tahun

 

“Apa jadinya sepakbola tanpaku?” tanya Helenio Herrera. Walaupun terdengar berlebihan, Herrera berhak mengklaim dirinya memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sepakbola. Berkat semua kerja keras yang ia lakukan, Herrera berhak menempati tempat istimewa.

Sejak kecil, Herrera sudah memegang teguh arti penting kerja keras. Sedini mungkin, ayahnya melatih Herrera untuk menjadi seorang tukang kayu. Namun Herrera merasa dunianya bukan di sana. Ia suka sepakbola. Walaupun tidak memiliki bakat istimewa, Herrera tak pernah menyerah. Kerja kerasnya membuat Herrera diajak bergabung dengan kesebelasan muda Raja Casablanca, salah satu kesebelasan paling terkenal asal Maroko. “Tidak ada sihir dalam sepakbola, yang ada hanya hasrat dan semangat juang,” pernah suatu ketika Herrera berujar.

Dari Raja Casablanca, Herrera pindah ke Perancis dan memulai petualangannya di sana. Bermain untuk delapan kesebelasan berbeda setelah Raja Casablanca, Herrera hanya satu kali menjadi juara. Ia bahkan terpaksa pensiun sebagai pemain karena cedera. Setelah karirnya sebagai pemain profesional berakhir, Herrera bekerja di dunia kepelatihan.

Walau menjalani profesi yang berbeda, Herrera tetap mengedepankan kerja keras. Alfonso Aparicio, eks pemain Atlético Madrid, sampai menyebut Herrera monster karenanya. Namun itu bukan sepenuhnya hal buruk.

“Ia adalah seorang monster. Ia biasa membuat kami berlatih sangat keras hingga tiga jam setiap hari,” Aparicio mengisahkan. “Namun karena semua latihan itu pula kami dapat menghancurkan siapapun di hari Minggu.” Bersama Atlético, Herrera meraih tiga piala pertamanya sebagai pelatih; trofi La Liga tahun 1950 dan 1951 serta Copa Eva Duarte di antara keduanya.

Selain memiliki sifat pekerja keras, Herrera juga cerdas. Kecerdasan itulah yang membuat Herrera mampu mencatatkan namanya dalam buku sejarah sepakbola dunia dan, tentunya, membuat dirinya sendiri enam tahun lebih muda.



Halaman: 1 2
{ Read More }


Tips Bermain Futsal dari Arsène Wenger


Tips Bermain Futsal dari Arsène Wenger

Apakah Anda gemar bermain futsal? Anda kebingungan dalam melakukan latihan? Manajer Arsenal, Arsène Wenger, memberikan enam tips yang bisa membuat permainan futsal Anda berkembang.

Bermain di posisi yang benar

“Sangat penting jika Anda memiliki pemain yang tepat di posisi yang tepat,” kata Arsène yang terkenal telah berhasil mengubah posisi Emmanuel Petit menjadi seorang holding midfielder, Lauren menjadi full-back, and Thierry Henry menjadi striker.

“Jika Anda tidak yakin akan posisi dari masing-masing anggota tim Anda, Anda bisa melihat kepribadian mereka,” lanjutnya. “Saya tahu beberapa orang yang pemalu dan lebih senang bermain efisien sangat cocok bermain pada posisi striker. Jika mereka cool dan sedikit suka menyendiri, mereka adalah tipikal pemain yang efektif di depan.”

“Sedangkan mereka yang senang berbagi dan senang bergaul, cocok sebagai pemain tengah. Kemudian mereka yang agresif, yang senang mengambil sesuatu dari orang lain, adalah tipikal orang yang cocok bermain sebagai pemain belakang.”

Menyusun tim Anda sesuai dengan posisi-posisi terbaik pemain Anda adalah hal yang mendasar untuk kesuksesan tim. “Jika tim Anda bisa bermain di posisi yang tepat, kualitas alami mereka akan berkembang dengan sendirinya, mereka menjadi lebih baik pada posisi mereka dan tim Anda bisa mendapatkan keuntungan.”

Pilih formasi 1-2-1

Banyak pemain futsal yang suka bermain tanpa posisi yang tetap, mereka sering menyebutnya sebagai total football. Tetapi lawan mereka lebih senang menyebutnya sebagai “lawan yang mudah”.
Jadi, bagaimana Anda bisa membuat tim bermain efektif? Tidak seperti sepakbola, dalam permainan futsal yang hanya melibatkan lima pemain, kita tidak bisa memainkan formasi 4-4-2, 4-3-3, 3-5-2, 4-2-3-1, dan lain-lain.

“Seperti permainan sepakbola 11 pemain, Anda memiliki pilihan untuk formasi,” kata Wenger.“Anda dapat bermain dengan dua bek, satu pemain tengah, dan satu pemain depan. Atau Anda dapat bermain dengan satu penyerang dan tiga pemain belakang. Tetapi saya menganjurkan untuk menggunakan formasi yang bisa mengawinkan pertahanan dengan penyerangan.”

“Rekomendasi saya adalah formasi 1-2-1. Satu pemain belakang, satu pemain depan, dengan dua pemain yang saya sebut offensive full-backs. Dua pemain ini bisa turun dan bertahan ketika tim tidak sedang menguasai bola tetapi harus siap untuk naik dan menyerang ketika dibutuhkan.”

“Formasi ini adalah formasi yang bisa memberikan tim Anda keseimbangan. Tim menjadi kuat dalam bertahan dan berbahaya ketika menyerang.”

Pilihlah penjaga gawang (dan bek) yang benar

Bagaimana Anda membangun tim futsal yang kuat? “Dari belakang,” kata Wenger.
“Pertama-tama cobalah untuk menemukan dan mengamankan posisi kiper yang baik, seseorang yang bukan hanya bersedia untuk berada di bawah gawang, tetapi yang bisa memberikan tim kepercayaan diri di belakang.”



Halaman: 1 2

{ Read More }


Komparasi pendukung inggris dan italia


“Loyalitas” merupakan kata paling sakral dalam sepakbola Inggris. Seringkali “loyalitas” di situ dimengerti dalam artinya yang paling harfiah, termasuk bagi para suporter sepakbola.
Kamus Oxford menjelaskan loyalitas sebagai “… giving or showing firm and constant support or allegiance to a person or institution” — memberikan atau menunjukkan keteguhan dan dukungan atau kesetiaan terus-menerus kepada seseorang atau institusi.Ya, seperti itulah kira-kira orang Inggris memandang kesetiaan.

Kultur kesetiaan yang terjadi di Inggris amat unik dibandingkan negara-negara lainnya. Dan seperti yang sudah disinggung dalam penutup tulisan di bagian pertama [baca artikelnya di sini], ini terkait dengan aspek kesejarahan yang membentuk watak dan psike (sukma) sebuah bangsa.

Arsene Wenger menyimpulkan bahwa ada perbedaan karakter kultur bangsa Anglo Saxon dengan Eropa daratan, khususnya Spanyol, Italia dan Prancis.
Bangsa Anglo Saxon dulu cenderung hidup dalam kelompok-kelompok kecil dan untuk bertahan hidup tentu mereka harus tetap bersatu dan setia satu sama lain. Sejarah Inggris diwarnai perang antarklan dan kelompok. Mereka akhirnya dipaksa untuk membangun ikatan sosial yang kokoh agar bisa selalu solid secara internal. “itulah yang membuat mereka kuat,” ucap Wenger.

Italia dan Prancis kesukuannya amat kental, tetapi untuk bertahan mereka menghadapinya dengan cara berbeda. Sejarah mereka erat dengan persekutuan dan pengkhianatan. Mereka memang menjunjung tinggi loyalitas, tetapi mereka juga sangat mencintai hidupnya sendiri. Tapi, masih kata Wenger, dari situlah justru lahir kecenderungan analitik yang bisa saja mengabaikan atau mempertimbangkan ulang ikatan kelompok.

“Orang Italia berpikir banyak, belajar banyak, tindakan mereka lebih analistis. Jika mereka menemukan sesuatu yang mereka suka, mereka tanya pada diri sendiri mengapa mereka menyukai hal itu. Inilah yang menghasilkan pendirian teguh. Orang Inggris tak melakukan itu. Jika mereka suka sesuatu mereka akan langsung terikat padanya. Mereka tak akan bertanya mengapa mereka suka,” ucap Wenger.

Halaman: 1 2 3

{ Read More }


Paolo di Canio: Antara yang Brutal dan yang Spiritual


“Satu momen bisa menghapus semua yang telah Anda capai dalam karir,” ucap Paolo Di Canio.

“Saya tidak membunuh siapapun. Saya mendorong wasit. Kamu tahu itu salah, tapi hal semacam itu bisa saja terjadi. Jika itu terjadi, jalani hukumanmu. Saya dilarang bertanding hingga 11 pertandingan. Tapi, Anda ingat? Media dan orang-orang menyebut saya barbar.”

Di Canio menerawang tentang satu momen yang membuatnya selalu dicap buruk. Kala itu, 26 September 1998, Sheffield Wednesdey bertanding menghadapi Arsenal. Jelang akhir babak pertama, terjadi perebutan bola begitu sengit di lini tengah. Pemain Sheffield, Petter Rudi, terlibat dalam pergumulan bola di lini tengah dengan gelandang Arsenal, Patrick Vieira.

Di Canio lalu mendekati Vieira dan menegurnya, “Patrick, ayolah. Itu tidak perlu,” tulis Di Canio dalam otobiografi yang terbit pada 2000. Beberapa saat kemudian, Martin Keown, pemain Arsenal, terlihat menyikut wajahnya. Di Canio pun terlibat perselisihan dengan Keown. Tak berselang lama, wasit yang memimpin pertandingan, Paul Alcock, mengusirnya.

Tak terima, Di Canio melontarkan protes. Namun, emosi sudah terlanjur menguasai dirinya. Di Canio pun mendorong Alcock yang kemudian tersungkur di atas tanah.
Kartu merah tersebut membuat tim disiplin FA memanggilnya. Di Canio pun hadir di Bramall Lane, kandang Sheffield United, untuk memberikan jawaban. FA memutuskan untuk menghukum Di Canio sebanyak 11 laga dengan denda 10 ribu pounds.
     
 
Jatuh dengan menggelikan (Sumber gambar: footballnova.com)

Usai pertemuan tersebut Di Canio mengungkapkan penyesalannya. “Aku ingin menyampaikan permohonan maaf atas apa yang telah terjadi,” tutur Di Canio seperti dikutip BBC.

Nyatanya, persoalan tidak berhenti sampai di situ. Sejumlah wasit menyatakan ketidaksenangannya. Mereka menganggap hukuman untuk Di Canio terlampau ringan.
Wasit yang pernah memimpin Piala Dunia, Philip Don, menuduh bahwa FA gagal mengirimkan pesan yang tepat untuk wasit di seluruh negeri. “Paolo Di Canio terbukti bersalah atas permasalahan disiplin yang begitu besar dan saya tidak merasa bahwa itu hukuman yang pantas,” tutur Don seperti dikutip BBC.

Meskipun demikian, sepanjang 1996 hingga 1998, hukuman untuk Di Canio merupakan yang paling berat. Sebelumnya, pada 1996, bek Birmingham dihukum empat pertandingan karena terlibat adu fisik dengan wasit, lalu pada 1997 Emmanuel Petit dihukum tiga pertandingan karena mendorong wasit.

Karena Banyak Orang Bodoh di Luar Sana

Cobaan untuk Di Canio tidak berhenti sampai di situ. Media-media Inggris pun mendorongnya begitu keras. Bahkan, Menteri Olahraga Inggris kala itu, Tony Banks, meminta FA untuk memberikan hukuman berat. Banks di media bahkan sempat menyindir, “Barbarian pulanglah ke rumah kalian!”. Sindiran tersebut tak lain ditujukan kepada Di Canio.

Halaman: 1 2 3

{ Read More }


Rabu, 29 Juli 2015

I Am Zlatan (2011): Otobiografi Sepakbola Terbaik

 
Judul Buku: I Am Zlatan
Penulis: Zlatan Ibrahimovic dan David Lagercrantz
Penerbit: Albert Bonniers Foerlag
Tebal: 347 halaman
Cetakan: I, 2011
[Tersedia pula dalam versi Apps]


"Pep Guardiola, manajer Barcelona, dengan jas abu-abu dan ekspresi wajah yang memancarkan kekesalan, menghampiriku. Ia terlihat tidak senang. Tadinya aku berpikir ia adalah orang yang baik. Tidak sehebat Mourinho atau Capello, tapi seorang okay guy……"


Bagaimana cara terbaik untuk mengawali sebuah otobiografi? Zlatan Ibrahimovic memilih untuk membuat Guardiola, manajer terhebat Barcelona di abad 21, terlihat seperti orang tolol. Zlatan memendam ketidaksukaan yang besar terhadap Guardiola dan mendedikasikan bab pembuka untuk memproklamirkan kepada dunia betapa parahnya hubungan antara kedua pria tersebut.

Zlatan tidak mengerti ketika Guardiola datang kepadanya dan mengatakan bahwa semua orang di Barcelona rendah hati dan arogansi bukanlah karakter orang-orang yang berada di klub tersebut. Guardiola lebih lanjut mengatakan bahwa tidak ada pemain Barcelona yang datang ke tempat latihan dengan mengendarai Ferrari atau Porsche.

Barcelona baru saja membeli Zlatan dari Inter Milan pada musim panas itu dan sebagai seorang anak baru yang diberitahu bagaimana adat istiadat di tempat yang baru, seyogianya si anak baru tersebut akan mengangguk setuju.

Tapi tidak demikian dengan Zlatan yang hobinya memacu Porsche di jalan raya sampai kecepatan 325 Km/jam hingga tidak terkejar oleh polisi. Zlatan kesal sekali dan mengumpat dalam hati soal kenapa sampai kendaraan pribadinya harus diatur-atur segala oleh pelatih. Ia hampir terlihat jijik ketika terpaksa mengendarai Audi, mobil yang diberikan Barcelona kepada setiap pemain, ke kamp latihan.

Terbiasa sebagai seorang primadona, Zlatan tidak mengerti dengan kondisi yang ditemuinya di Barcelona.

"Barcelona terlihat seperti sebuah sekolah, seperti sebuah institusi pendidikan. Sejujurnya, tidak ada satu pun pemain yang bertingkah seperti seorang superstar dan itu sangat aneh. Messi, Xavi, Iniesta, semuanya terlihat seperti anak sekolah. Para pemain sepakbola terbaik di dunia berada di sana dan semua kepala mereka tertunduk. Aku sama sekali tidak mengerti. Menggelikan.

"Jika para pelatih di Italia berteriak 'lompat!' kepada para pemain bintangnya, para bintang tersebut akan menengok ke arah pelatih dan mempertanyakan mengapa mereka harus melompat? Di sini (Barcelona) semua orang melakukan apa yang disuruh. Ini sama sekali tidak cocok dengan karakterku. Perlahan aku beradaptasi dan bisa menyatu. Tapi semua terlalu teratur untukku. Aku jadi gila."

Ia semakin frustrasi ketika ia harus dipinggirkan untuk memberi ruang yang lebih kepada Messi sebagai bintang utama Barcelona. Zlatan tidak mengerti kenapa Barcelona harus mahal-mahal membelinya jika ia tidak dipergunakan dengan maksimal.

Lalu Zlatan menghampiri Guardiola dan mengatakan, "Ini seperti anda telah membeli Ferrari, tapi mengemudikannya seperti sebuah Fiat", sebuah ungkapan menohok yang diakui Zlatan ia dapatkan dari seorang temannya usai menyaksikan permainan striker asal Swedia tersebut dalam baju Barcelona.

***

Banyak otobiografi pemain sepakbola yang dipublikasikan seiring meningkatnya reputasi para gladiator lapangan hijau, bukan hanya sebagai seorang atlet tapi juga selebritis. Tapi I Am Zlatan, otobiografi yang dikerjakan bersama penulis Swedia, David Lagercrantz, rasanya berada di level yang tidak bisa disamai oleh buku pesepakbola manapun.

Halaman: 1 2 3 4

{ Read More }


5 Cara untuk Memenangkan Adu Penalti


Kiper timnas Inggris Joe Hart mengaku lebih memilih menghindari adu penalti ketika menghadapi Italia di partai perempat final Piala Eropa 2012 lalu.

Hal tersebut ia ungkapkan setelah partai antara Inggris kontra Italia diprediksi akan diakhiri dengan drama adu penalti. Apalagi pelatih The Three Lions Roy Hodgson mengaku telah mempersiapkan kesebelasannya untuk menghadapi drama tos-tosan.

Namun, kiper Manchester City itu mengaku meski siap menghadapi penalti, tapi ia ingin kesebelasannya meraih kemenagan sempurna dengan permainan terbaik yang dimiliki The Three Lions.

“Saya lebih memilih untuk meraih kemenangan dengan cara yang sempurna yakni dengan bermain bagus dan solid serta mencetak gol. Hal tersebut membuat kami tak perlu takut bahwa laga akan berakhir dengan adu penalti,” ungkap Hart seperti dikutip The Sun.

Dalam hal tidak menyukai adu penalti, Franz Beckenbauer begitu juga. “Tendangan penalti selalu tidak adil karena banyak keberuntungan yang terlibat di dalamnya,” ujar legenda sepakbola Jerman itu.

Bagi Beckenbauer, babak adu penalti juga dianggap tidak adil karena tidak menggambarkan pertandingan sebenarnya. Ini karena kesebelasan yang bertahan total dalam suatu pertandingan bisa saja memenangkan pertandingan melalui adu penalti.
Namun tekanan selama menghadapi bisa diredam jika berhasil mengendalikan lima hal di bawah ini.

Tekanan Mental Sebagai Faktor Utama

Satu alasan yang dikemukakan oleh para oposisi adu penalti adalah karena adanya beban mental berbeda bagi tiap kesebelasan dan tiap penendang. Ini karena kesebelasan penendang kedua diharuskan mengejar ketertinggalan dari lawannya.

Bahkan, jika penendang kesebelasan pertama gagal, kesebelasan kedua juga masih mempunyai beban harus sukses penaltinya untuk dapat memenangi pertandingan. Kondisi demikian jadi salah satu alasan lain mengapa adu penalti dianggap tidak adil.

Peneliti dari London School of Economics dan Political Science (LSE) juga mengemukakan, bahwa kesebelasan yang melakukan tendangan pertama memiliki presentase kemenangan sebesar 60%. Faktor psikis dan tekanan yang menjadi salah satu alasan terbesarnya.

Itulah kenapa skill penendang masih dianggap sebagai faktor nomor dua. Faktor mental untuk menghadapi tekanan jadi yang utama dalam eksekusi penalti.Tak heran banyak pelatih memilih sang algojo berdasarkan pengalaman dan kondisi psikis pemain. Selain itu, saat menyiapkan kesebelasan dalam turnamen dengan sistem gugur, sang pelatih juga menyisipkan menu khusus berupa latihan tendangan penalti.

Halaman: 1 2 3

{ Read More }


IconIconIconFollow Me on Pinterest
//add jQuery library