Kamis, 13 Agustus 2015

Juventus, Calciopoli, dan Wajah Buruk Sepakbola Italia

Saat Juventus melawan AS Roma pada leg kedua musim kemarin banyak kontroversi tersaji. Dimulai dari penunjukkan tiga penalti oleh wasit, hingga diusirnya allenatore Roma, Rudi Garcia, saat pertandingan masih berlangsung.

Pertandingan ini akhirnya dimenangkan sang tuan rumah Juventus setelah tendangan voli Leonardo Bonucci di menit ke-86 menghujam sudut kanan gawang Roma yang dikawal Lukasz Skorupski sehingga mengubah skor menjadi 3-2. Namun dengan kemenangan ini, tim yang berjuluk Bianconeri itu kembali mendapat sorotan.

Banyak pihak yang menilai bahwa tuan rumah Juventus terlalu diuntungkan oleh wasit Gianluca Rocchi. Keberpihakan Rocchi sangat terlihat ketika memberikan penalti kedua pada Juventus padahal Paul Pogba yang dilanggar Miralem Pjanic berada di luar kotak penalti.

Seluruh penonton yang menyaksikan laga itu seolah menguapkan ingatan mereka tentang Juventus yang terlibat Calciopoli, skandal pengaturan skor liga Italia, yang terjadi pada 2006 silam. Saat itu, Juventus dituduh melakukan penyuapan terhadap wasit untuk memuluskan langkah mereka meraih gelar juara pada musim 2004/2005 dan 2005/2006.

“Apakah Juventus kembali ‘bermain’ dengan wasit?” pertanyaan ini sontak muncul ke permukaan. Komentar Francesco Totti pasca pertandingan pun semakin memanaskan situasi ini: “Juve menang karena memiliki kaitan (dengan wasit) atau dengan kejahatan.”

Tak hanya Totti yang memanaskan isu sensitif ini. Pendukung rival Juventus seperti AC Milan, Inter Milan, Roma, Lazio, Fiorentina dan tim – tim lain yang membenci Juventus seolah mendapatkan bahan untuk mengolok-olok para pendukung si Nyonya Tua.

“No Penalty, No Party”, begitu kata mereka menyikapi kontroversi pada Minggu malam itu. Para haters Juve itu mengisyaratkan bahwa Juventus selalu mendapatkan keuntungan dari wasit dengan terlalu seringnya mendapatkan hadiah penalti.

Lantas, benarkah Juventus sangat sering mendapatkan hadiah penalti? Franklin Foer, seorang redaktur senior The New Republic, dalam bukunya ‘memahami dunia lewat sepakbola’ mengatakan, hubungan Juventus dan penalti atau lebih luasnya mendapat pertolongan wasit sudah terjalin sejak lama. Jauh sebelum Juve terjerumus ke Serie B, tepatnya pada 1930-an, Juventus telah mendapatkan hati dari para pengadil lapangan sehingga menjadi penguasa di Italia.

Saat itu, keluarga Agnelli, pemilik Juve yang juga pemilik perusahaan Fiat dan pemegang persentase substanstif pada Bursa Efek Milan, menjadi penguasa pra-globalisasi sebagian besar dunia Latin. Namun mereka tak memamerkan pengaruhnya, mereka hanya mengontrol politisi yang mengurusi kerajaan bisnis mereka.

Masih menurut Frankilin Foer, kecurangan yang dilakukan Juve ini sampai melahirkan sebuah situs bernama anti-juve.com (sayangnya, saat ini sudah tak bisa diakses). Dalam situs tersebut menghadirkan banyak cuplikan-cuplikan pertandingan di mana Juve selalu diuntungkan wasit, di mana yang paling sering terjadi adalah banyaknya gol-gol lawan yang sering dianulir wasit.

Dugaan kecurangan yang dilakukan Juventus semakin menguat ketika pada awal 1990-an tangan kanan Agnelli didakwa atas segala jenis tuduhan korupsi. Hal ini terungkap ketika Agnelli mengaku bahwa Fiat telah mengeluarkan suap pada banyak pihak senilai 35 juta dolar sepanjang 10 tahun terakhir.

Kehilangan kuasa dalam ranah politik memaksa Fiat dipukul mundur oleh pesaing luar negeri dan mulai memiliki banyak hutang. Di titik inilah hubungan mesra antara politik dan Juventus terhenti.

Politik memang berkaitan erat dengan sepakbola Italia. Maka tak heran, ketika Juve ‘kolaps’ pada 90-an, muncul tim lain yang kemudian menjadi pesaing utama Juve dalam hal dominasi Serie A. Siapa lagi kalau bukan AC Milan.


Halaman: 1 2 3
{ Read More }


Perjalanan Panjang Luciano Moggi yang Belum Selesai

Pengadilan Tinggi Italia, Cassazione, telah menjatuhkan putusan final terkait skandal Calciopoli, di antaranya adalah membebaskan mantan Direktur Umum Juventus Luciano Moggi dari dua tuduhan penipuan olahraga.

Moggi dianggap sebagai salah satu tokoh utama dalam skandal yang mengguncang Italia pada 2006 itu. Bianconeri mendapat sanksi terberat berupa degradasi paksa ke Serie B, dan sepasang Scudetto mereka dicabut. Sebelumnya, Moggi dianggap sebagai dalang Calcipoli yang mengatur sejumlah hasil laga di Serie-A.

Dia juga terbukti menjalin percakapan telepon dengan Pierluigi Pairetto yang merupakan mantan Ketua Komisi Wasit Italia.

Namun dari hasil putusan tersebut, Moggi masih belum bisa terlibat di dalam aktivitas sepakbola. Dan itu menandakan perjalanan Moggi mencari keadilan belumlah sepenuhnya tuntas. Dalam hal tersebut, kendala Moggi sebenarnya disebabkan limitasi kasus yang telah kadaluarsa.

Klik gambar untuk memperbesar.

{ Read More }


Minggu, 09 Agustus 2015

Derbi Della Mole: Torino yang Lebih Besar di Turin

 "Juventus adalah timnya para pria berbudi pekerti, pionir industri, Yesuit, konservatif dan para borjuis kaya, sementara Torino adalah timnya para pekerja, buruh migran dari provinsi tetangga, warga kelas bawah dan kaum miskin," Mario Soldati, novelis kelahiran Turin.

Awal mula persaingan ditandai dari berdirinya kesebelasan Torino yang lahir di tahun 1906, menyusul pembentukan kembali Football Club Torinese dari beberapa penggurus Juventus yang membangkang, termasuk mantan presiden Juventus dan penyandang dana terbesar, Alfredo Dick.

Alfredo mengajak beberapa pemain dari Football Club Torinese, salah satu kesebelasan sepakbola paling tua di Italia, untuk bergabung. Maka terbentuklah Torino seperti yang kita kenal sekarang ini: sebuah kesebelasan yang lahir dari pemberontakan, khas kelas pekerja.

Derby antara kedua kesebelasan pun baru mulai dimainkan pada 1907, pertemuan pertama itu juga menjadi pertandingan resmi pertama milik Torino. Derby della Mole yang memiliki nama sederhana, Derby Turin,jelas kalah pamor jika kita membandingkannya dengan Derby della Madonnina (AC Milan - FC Internazionle), Derby della Capitale (AS Roma - SS Lazio), atau bahkan Derby D'Italia (Juventus - FC Internazionale).

Sejarah derby pertama menceritakan sebuah cerita permusuhan yang konyol. Ketika itu seseorang mengunci Alfredo di ruang ganti sampai pertandingan selesai. Hal tersebut membuat Alfredo selalu menanyakan tentang jalannya pertandingan selama beberapa hari.

Sebutan Derby della Mole sendiri diambil dari nama Mole Antonelliana. Sebuah bangunan setinggi 167 meter di pusat kota Turin, Italia. Gedung ini dibangun mulai tahun 1863 setelah unifikasi Italia, dan selesai pada tahun 1889. Dinamakan begitu untuk menghormati Antonelli sang arsitek, bangunan ini awalnya merupakan sebuah sinagog (tempat ibadah untuk penganut Yahudi) dan kini menjadi Museo Nazionale del Cinema, sekaligus diklaim sebagai museum tertinggi di dunia.

Torino Punya Basis Terbesar di Kota Turin

Torino merupakan salah satu kesebelasan yang tergolong tradisional di Italia. Mereka mempunyai basis pendukung kelas pekerja yang kuat di kota Turin. Menjamurnya pendukung berlatar belakang kelas pekerja disebabkan kota tersebut sebagai daerah perindustrian, termasuk pusat bisnis dan kebudayaan di bagian barat laut Italia, ibu kota region Piemonte dan terletak pada tepi barat Sungai Po. Populasi kotanya adalah 908.000 (sensus 2004), kemudian bertambah menjadi 1,7 juta penduduk namun wilayah metropolitannya mempunyai sekitar 2,2 juta penduduk.

Turin terkenal dengan pusat tempat penghasil Kain Kafan dari Turin yang disimpan di Katedral Santo Yohanes Pembaptis. Kota Turin mempunyai dua kesebelasan sepakbola yang terkenal, Juventus dan Torino Calcio. Selain itu, Turin juga adalah tempat markas perusahaan otomotif FIAT.

Meskipun berlatar belakang dari kelas pekerja, para pendukung Torino tak akan segan-segan menghamburkan uang mereka untuk membeli satu tiket pertandingan. Hal itu akan mereka lakukan meskipun kesebelasan Torino bermain di Roma yang cenderung jauh atau di Palermo yang berada di kawasan Sisilia.

Halaman: 1 2 3
{ Read More }


Superga: Bukit Yang Mengubah Kekuatan Sepakbola Eropa

 “Pada 4 Mei 1949, kesebelasan Torino yang begitu digdaya menguasai sepakbola Italia, meraih Scudetto kelima berturut-turut mereka. Kecelakaan pesawat yang menewaskan seluruh skuat mengubah tawa menjadi tangis bagi seluruh warga Italia.”

Kotak pos itu berdiri tegap depan halaman rumah kapten Torino, Valentino Mazzola, yang begitu padat dengan tumpukan surat dari para tifosi. Sembari menghabiskan waktu kosongnya saat sedang libur berlatih, Mazzola akhirnya mencoba untuk membuka kotak pos dan mengambil seluruh isinya sambil melihat-lihat surat yang datang.

Ternyata di sana terdapat satu surat dari sahabatnya asal Portugal yang merupakan pesepakbola terkenal kala itu, Francisco Jose Ferreira. Setelah dibuka, ternyata kapten Benfica tersebut menyampaikan undangannya pada Torino untuk menghadiri partai testimoni. Hal tersebut dilakukan atas rasa penasaran Ferreira terhadap kekuatan Torino. Ya, wajar saja, sebab Benfica sangat jarang untuk bertemu Torino karena mereka hanya akan bertemu di pertandingan kompetisi Eropa. Dan itu tidak dapat dipastikan waktunya. Ferreira dan Benfica pun tak ingin menunggu terlalu lama.

“Untuk Valentino, sahabatku. Saat ini kalian merupakan kesebelasan terkuat di Eropa. Saya yakin, dengan kehadiran kalian masyarakat pasti akan berduyun-duyun datang memenuhi stadion partai testimoni saya.”

Mazzola pun akhirnya merespons baik permintaan sahabatnya dengan memberi balasan jika ia akan menyampaikan permohonan kepada Novo (Presiden Torino) yang kebetulan sang Presiden juga mengidolakan Ferreira.

Petinggi Torino pun tidak keberatan. Asalkan Mazzola dan pemain yang lainnya tetap tampil maksimal saat berlaga melawan Inter Milan yang digelar satu hari sebelumnya. Pertandingan berakhir imbang 0-0, tetapi itu sudah cukup bagi Torino untuk memastikan diri keluar sebagai juara. Dengan persembahan Scudetto kelima secara beruntun akhirnya sang Presiden menepati janjinya kepada pemain kesayangannya.

Pagi, 3 Mei 1949 Il Toro berangkat ke Lisbon dengan membawa 18 pemain inti dan 5 staf pelatih. Duel berlangsung di malam harinya. Dengan susanan stadion yang sesuai ramalan Ferreira, stadion disesaki puluhan ribu orang untuk melihat penampilan kesebelasan terbaik di Eropa.



Pertandingan berjalan sangat seru dan menghibur. Tujuh gol terjadi dalam pertandingan testimoni tersebut. Pada akhirnya tuan rumah, Benfica, keluar sebagai pemenang dengan skor tipis 4-3. Mazzola menyudahi pertandingan dengan riuh tepuk tangan penonton yang puas dan pelukan hangat dari sahabat Portugalnya.

Halaman: 1 2 3
{ Read More }


Sabtu, 08 Agustus 2015

“Catenaccio” Lahir dari Kultur Pecundang Orang Italia

Ciri khas sepakbola Italia yang cenderung bertahan tentu tak lahir dengan sendirinya, cattenacio lahir dari filosofi kehidupan masyarakat Italia itu sendiri.

Budaya sepakbola Italia memandang hasil akhir adalah segalanya. Sepakbola dilihat dari satu ukuran statistik: menang atau kalah. Gialuca Vialli dalam buku The Italian Job memberikan komparasi menarik terkait budaya sepakbola Italia ini. Kali ini ia membandingkannya dengan Inggris, negara sepakbola modern berasal.

Dalam bukunya itu Vialli menganalogikan kultur kedua negara ini dengan dua petinju amatir. Sebut saja petinju A dan petinju B.Saat bertanding, petinju A adalah petarung yang agresif. Ia akan menyerang lawannya tanpa ampun. Pertahanan terbaik adalah menyerang, itulah filosofi yang diembannya. Di atas ring, petinju A ingin menunjukan hasil latihan kerasnya sepanjang tahun kepada penonton. Ia bertarung memakai hati.

Lain hal dengan petinju B. Saat bertarung, ia lebih bersabar. Badannya melenggak meliuk menahan segala gempuran. Orang akan jemu dan kelu meliat tingkahnya yang enggan menyerang. Ia menunggu momen yang pas, hingga akhirnya hook matang ia hantamkan kepada lawannya. Si petinju B bertarung memakai otak dan menggunakan kalkulasi.

Bagi petinju A, menang dan kalah adalah dinamika kehidupan. Maka ia siap menanggung segala konsekuensi dari sebuah pertarungan: jadi pemenang atau pecundang sama saja. Hal yang paling penting adalah bertarung dengan hati.

Ini berbanding terbalik dengan petinju B. Baginya, pertarungan adalah bagian dari hidup dan mati. Karena itu, ia pikirkan segala cara agar tetap terus bertahan hidup, tak peduli apapun caranya dan ketidaksukaan orang padanya.Toh dalam benaknya hasil lebih dihargai orang daripada proses.
Pasti Anda sudah bisa menebak mana petinju yang merepresentasikan sepakbola Italia, bukan? Dari analogi diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa: “Di Italia sepakbola adalah pekerjaan, sementara di Inggris sepakbola adalah permainan”. Demikian kata Vialli. “Inggris bermain dengan hati, Italia bermain dengan otak” pun lalu jadi tagline ciri khas buku The Italian Job itu.

Di Italia, fakta bahwa para gladiator berdarah-darah di atas lapangan hijau atau mati-matian berusaha merebut kemenangan, jadi satu hal yang diabaikan. Jika hasil akhir tak berpihak, maka mereka tetap saja pecundang. Karena inilah Italia cenderung mengedepankan sistem pertahanan setelah mereka unggul, entah itu unggul tipis atau unggul banyak. Lihat saja sikap Prandelli yang menarik Verrati dan memaikan Thiago Motta saat mereka unggul 2-1 pada pekan lalu. Ketika kita bicara hal ini maka kita berbicang soal taktik, entah itu taktik dalam konotasi positif maupun negatif.

Kalau pun Sun Tzu masih hidup, para pelatih Italia mungkin yang akan paling antusias berdiskusi dengannya. Dalam menerapkan taktik, Sun Tzu menyarankan pendekatan yang berdasarkan kualitas dan karakteristik lawan. Inilah ciri dari sepakbola Italia: variasi dan fleksibilitas taktik. Tak ada satu strategi yang paling unggul.

Di Italia, para pelatih menggunakan banyak sistem yang berbeda. Sistem ini yang kadang dikritik oleh pesepakbola di luar Italia. “Fleksibilitas taktis selalu dikritik negatif dan sering dikaitkan dengan sikap reaktif. Asumsi dasar di masyarakat adalah bahwa yang lemah adalah yang reaktif, sementara yang kuat proaktif. Tapi, ketika seorang pelatih Italia melakukan perubahan formasi, ini bukan hanya sekadar reaktif atau proaktif, tapi sedang mencari sebuah solusi,” bela Vialli menyikapi kritikan tersebut.

Flesibilitas taktik ini yang membuat seorang pemain harus bisa seadaptif mungkin terhadap sebuah sistem. Lihat saja Italia saat ini, ada banyak variasi yang Cesare Prandelli terapkan. Mulai dari 4-3-3, 4-3-2-1, 4-4-2 , 3-5-2 hingga 3-4-3. Dengan banyaknya variasi ini mungkin akan membuat pemain bingung. Tapi toh dalam kultur sepakbola Italia, tak ada alasan untuk tak bisa beradaptasi dengan taktik. Bisa tak bisa ya harus bisa!
{ Read More }


Kamis, 06 Agustus 2015

Sejarah, Kemegahan, dan Meredupnya Derbi Della Madonnina

Derby Della Madonnina. Begitu pertemuan Milan dengan Inter dikenal. Derbi dikota Mediolanum era modern merupakan duel antar tim satu kota paling akbar di dunia. Nama tersebut dipakai sebagai bentuk penghormatan pada patung Bunda Maria yang terletak di atas Katedral Milan, yang oleh warga lokal disebut sebagai 'Madonnina ("Madonna Kecil" dalam bahasa Italia).

Kedua tim adalah raksasa Italia dan Eropa yang telah menyarangkan begitu banyak trofi ke kota yang juga dikenal sebagai kota mode ini. di Jika melihat torehan gelar yang pernah diraih, kedua tim yang bermarkas di San Siro ini telah mengumpulkan 36 Scudetto (Milan 18, Inter 18), 12 Coppa Italia (Milan 5, Inter 7), 10 Liga Champions (Milan 7, Inter 3), 3 Piala UEFA (Inter 3, Milan 0,) 5 Piala Super Eropa (Milan 5, Inter 0) serta 2 Piala Dunia Klub (Milan 1, Inter 1). Dalam raihan scudetto, Milan hanya tertinggal dari Turin yang telah mendapatkan 37 gelar (30 Juventus, 7 Torino) dan di kancah Eropa, belum ada kota lain di eropa selain Madrid yang pernah merasakan datangnya trofi kemenangan Liga Champions ke kota mereka sampai 10 kali lebih.

Hal yang juga belum dapat disamakan oleh Lisbon, London, maupun Manchester yang juga memiliki dua klub besar di dalam satu kota. Selain itu, tidak sedikit juga pemain bintang dunia yang pernah bermain untuk kedua klub tersebut, nama-nama seperti Ronaldo, Roberto Baggio, Clarence Seedorf, Hernan Crespo dan Zlatan Ibrahimovic pernah merasakan Derby Della Madonnina dengan seragam Milan maupun Inter. Ditambah lagi, rivalitas antar suporter yang saling berlawanan memenuhi curva nord dan curva sud San Siro, semakin memanaskan pertemuan kedua tim. Hal ini cukup membuktikan bahwa Milan adalah kota yang memiliki kultur dan prestasi besar dalam bidang sepakbola.

Sepanjang sejarahnya di semua kompetisi (resmi dan tidak resmi) Milan dan Inter sudah berhadapan 282 kali. Milan lebih baik dengan sudah mengumpulkan 110 kemenangan, sedangkan Inter meraih 99 kemenangan . Sebanyak 73 laga lainnya berkesudahan imbang.

Paolo Maldini menjadi pemain yang paling sering tampil dengan total bermain pada 56 edisi derby. Sementara yang memegang status topskorer sepanjang masa adalah Andriy Shevchenko dengan 14 golnya.

Milan Cricket and Football Club dan F.C. Internazionale Milano

Pada awalnya hanya ada satu klub sepakbola di Kota Milan. AC Milan merupakan salah satu klub sepakbola tertua di Italia. Awalnya klub ini didirikan dengan nama Milan Cricket and Football Club pada 16 Desember 1899 oleh Herbert Kiplin dan Alfred Edwards yang berasal dari Nottingham, Inggris. Milan kemudian memenangi gelar liga nasional pada tahun 1901, 1906 dan 1907.

Di tahun 1908 Milan terpecah karena ketidaksepakatan di dalam klub soal pembelian pemain asing. Sejak saat itulah lahir F.C. Internazionale Milano, dan sejak saat itu juga rivalitas antara dua klub satu kota itu pun dimulai. Di awal perseteruan keduanya, salah satu skor terbesar dalam pertemuan Duo Milan itu datang pada 3 maret 1918, saat Milan menghantam Inter 8-1.

Di masa lalu, Inter dikenal sebagai klub yang didukung oleh kelompok borjuis sementara Milan adalah klub yang didukung kelas pekerja. Media sering menyebutkan ultras Milan sebagai pendukung politik sayap kiri yang berhubungan dengan paham sosialis sementara Ultras Inter beraliran politik sayap kanan yang berhubungan dengan Konservatisme atau Liberalisme. Suporter Milan dan Inter juga seringkali disebutkan berasal dari dua kalangan yang berbeda.

Pendukung Milan mayoritas adalah penduduk kelas bawah yang bekerja sebagai buruh atau pekerja kasar sementara Inter didukung oleh masyarakat golongan menengah keatas. Hal-hal tersebut telah menjadi bumbu pedas yang memanaskan pertemuan kedua tim di lapangan dan persaingan mereka di liga setiap musimnya.

Namun di era modern hal tersebut dianggap tidak lagi relevan karena Milan dimiliki oleh mantan perdana menteri konservatif Silvio Berlusconi, sementara Inter dipunya oleh Massimo Moratti, yang kemudian melepas sebagian sahamnya ke pebisnis asal Indonesia Erick Thohir.

Setelah memisahkan diri, Inter memenangkan gelar liga Italia pertamanya pada musim 1909/1910 dan berkembang menjadi klub yang lebih kuat dari AC Milan yang setelah terpisah dari Inter tidak mampu menyamai prestasi di era sebelumnya dan lebih sering menjadi tim papan tengah. Setelah perang dunia kedua, Milan kembali menjadi tim kuat di Italia dan berhasil memenangkan scudetto pertama mereka dalam 44 tahun pada 1951. Pada masa itu, skuad Milan dihuni oleh sejumlah pemain-pemain hebat seperti Lorenzo Buffon, Cesare Maldini dan Trio penyerang asal Swedia: Gunnar Gren, Gunnar Nordahl dan Nils Liedholm.

Di era 1960-an, Inter jadi klub dengan kisah sukses lebih mengilap: memenangi Piala Champions dua kali beruntun dan menjuarai Piala Interkontinental (kini Piala Dunia Antarklub) juga dua kali beruntun. Namun di akhir 1980-an sampai awal 1990-an gantian Milan yang menguasai Italia dan juga Eropa.

Halaman: 1 2 3 4
{ Read More }


Rabu, 05 Agustus 2015

Derby Della Capitale: Kebencian Abadi di Kota Yang Abadi

 Secara melankolis seorang Novelis Inggris, Sir Hall Caine, dalam novelnya yang berjudul “The Eternal City” (1901), mengatakan bahwa Kota Roma adalah "sebuah kekaisaran tanpa akhir."

“Keabadian” itulah yang ingin disampaikan Caine. Suatu frasa yang berhubungan dengan keadaan utopis di Roma kala itu. Tak ayal sebutan Eternal City pun kini didaulat sebagai julukan Kota Roma.

Keabadian inilah yang akan hadir dalam laga epik nan heroik di Stadion Olimpico, Minggu (26/5/2013). Rivalitas perseteruan abadi Lazio dan Roma akan mencapai titik puncak dalam sejarahnya. Baru pertama kali dalam historis sepakbola italia kedua tim ini harus bentrok di laga final dalam sebuah ajang prestise semacam Coppa Italia. Karenanya tak ada pilihan lain bagi kedua tim: membunuh atau dibunuh.

Di ajang Coppa Italia, pertarungan derbi di final sendiri baru terjadi dua kali. Pada 1938 Juventus dapat menaklukan Torino, sementara di tahun 1977 giliran AC Milan yang mempecundangi Inter Milan.

Namun Derby Della Capitale tidaklah sebersahabat Derby della Mole atau Derby della Madonnina. Wajar saja jika website footbalderbies.com memberikan predikat Derby Della Capitale sebagai derbi paling panas di italia.

Kebencian adalah keharusan itulah yang selalu dibenamkan kedua pendukung dari generasi ke generasi melalui beberapa kelompok suporter garis keras. Kebencian terhadap klub rival bahkan melebihi kecintaan terhadap klub sendiri. Coba tengok bagaimana tingkah suporter Lazio yang meminta timnya untuk mengalah kepada Inter Milan di tahun 2010.

Kala itu, Inter sedang bersaing dengan AS Roma untuk memperebutkan gelar Scudetto dan kemenangan dari Lazio akan memuluskan langkah itu. Di sisi lain, Lazio berada di peringkat 17 hanya berselisih 4 poin dari zona degradasi. Kekalahan dari Inter tentunya akan membuat mimpi buruk itu semakin jadi kenyataan.

Dan suporter Lazio lebih memilih mimpi buruk tersebut. Coba baca isi tulisan-tulisan spanduk yang dibentangkan ultras Lazio: "Jika sampai menit ke 80 Lazio menang, kami akan menyerbu ke lapangan!", "Nando (Menunjuk kepada Fernando Muslera Kiper Lazio), biarkan bola melewatimu, dan kami akan tetap menyayangimu." "Zarate, satu gol saja kau cetak, kami paketkan kau ke Buenos Aires."

Ya, pendukung Lazio ternyata lebih memilih tim kesayangannya degradasi ke seri B ketimbang melihat sang rival berpesta merayakan scudeto.

Tingkah ultras ini membuat pemain Lazio bermain buruk. Alhasil Inter pun menang 2-0.

"Oh, Noooo Roma!" dan, "Scudetto Game Over, Roma!" bentang spanduk pendukung Lazio usai pertandingan.

Presiden Roma, Rosella Sensi mengecam dan menyebut suporter lazio anti fairplay. Jose Mourinho yang kala itu melatih inter hanya geleng-geleng kepala sembari berkata, "Saya belum pernah menyaksikan yang seperti ini,"Sudah menjadi sebuah tagline di antara kedua pendukung bahwa 'Derby is much more than just a game'. Tak mengapa tak mampu meraih scudeto atau kalah dari tim lain asalkan jangan jadi pecundang saat menghadapi tim rival. Kekalahan adalah aib yang akan terus menjadi olok-olokan sampai derbi kembali digelar.

Halaman: 1 2 3
{ Read More }


Kebencian Dalam Nyanyian Vesuvius

 Napoli bukan kesebelasan sementereng AC Milan, Inter atau Juventus. Prestasi tertinggi di Italia, gelar Scudetto, pun hanya diraih dua kali saja (1986/1987 dan 1989/1990) saat masih diperkuat Diego Maradona. Di Eropa, hanya sekali mereka pernah merasakan titel juara, yaitu musim 1988/1989, dengan menjuarai Piala UEFA.

Setelah era Maradona, juga bomber Brasil bernama Careca, tak banyak lagi pemain-pemain top dunia yang bermain di Stadion San Paolo dengan berseragam Napoli. Bagaimana pun, mereka memang bukan tim kaya, dan setelah era Maradona itu, praktis prestasi menjadi terasa jauh untuk direngkuh.

Menariknya, kendati boleh dibilang sebagai tim semenjana dalam hal prestasi, para pendukung Napoli justru relatif banyak tidak disukai oleh fans-fans lainnya. Mereka dianggap paling sering berulah dan cenderung memusuhi semuanya, apalagi fans-fans dari klub Italia Utara seperti Milan, Inter dan Juventus --tiga klub yang kadang disebut sebagai 'Tiga Triad dari Utara'.

Ketidaksukaan itu, seperti biasa, diekspresikan melalui nyanyian (chant) yang liriknya mengumandangkan ejekan dan bahkan penghinaan bagi para fans Napoli. Nyanyian itu menggunakan Gunung Vesuvius sebagai pintu masuknya dan masyhur dengan sebutan "Nyanyian Vesuvius".

Diskriminasi teritorial terasa benar dari nyanyian ejekan bagi para fans Napoli itu.

Salah Satu Gunung Paling Berbahaya di Dunia

Vesuvius merupakan salah satu gunung paling aktif di daratan Eropa. Memiliki luas sekitar 44 hektar dan tinggi 1.281 m (4.202 kaki), Vesuvius disebut-sebut sebagai gunung berapi paling berbahaya di dunia. Ada sekitar 3 juta orang yang tinggal di sekelilingnya.

Jika dihitung, Vesuvius sudah meletus kira-kira sebanyak 50 kali. Namanya memiliki kaitan dengan mitologi Hercules, Sang Putra Zeus atau Veus. Vesuvius kadang disebut juga sebagai "Gunung Peringatan" (Mount of Warning). Bencana akibat letusan Vesuvius yang menghancurkan kejayaan peradaban Pompeii dianggap banyak orang mengingatkan pada bencana yang dialami Sodom dan Gomorah sebagaimana dikisahkan dalam kitab suci agama Ibrahimiah.

Vesuvius yang terakhir kali meletus pada 1944 memang menjadi salah satu simbol Kota Naples. Letaknya memang berada di Teluk Timur kota pelabuhan tersebut. Maka dari itu kaitan antara keduanya sangat erat -- seperti Gunung Tangkuban Parahu dengan Kota Bandung atau Krakatau dengan Cilegon.

Halaman: 1 2 3 4
{ Read More }


Senin, 03 Agustus 2015

Kebencian Florence Kepada Turin

 Dari Florence, kota kecil berpenduduk 300 ribu, dunia berubah. Kota berbunga nan indah yang kini lebih diidentikkan sebagai tujuan wisata. Lembaran sejarah memang mencatatkan bahwa tanah Florence-lah yang melahirkan dan membesarkan rennaissance sebelum mewabah ke seluruh penjuru Eropa.

Ya, Florence menelurkan banyak pemikir, seniman, ilmuwan, dan politikus ulung yang mewarnai dunia baru. Mulai dari Dante, Michelangelo, Galileo, Machiavelli, Leonardo Da Vinci, dan banyak lainnya. Para pemikir dan artisan inilah yang mengembalikan kedigdayaan barat dari tangan orang timur. Dan, hingga kini, bangunan-bangunan tua dari abad rennasissance masih tetap tegak kokoh, penanda bahwa kota ini sempat jadi pusat peradaban manusia berada.

Berbeda dengan kota-kota lain di Italia, semisal Roma atau Turin, kota Florence hanya punya satu klub yang bisa diandalkan, Fiorentina. Rival sekota mereka, Siena, sudah terbenam di Serie-B. Itu pun dengan catatan bahwa Siena tak punya sejarah bagus di kancah sepakbola Italia.

Jika dilihat dalam skala lebih besar lagi, di regional provinsi Tuscani, saingan klub profesional Fiorentina paling banter hanya Empoli, Livorno, dan Pisa. Nama-nama itu tentu masih kalah tenar ketimbang Fiorentina. Tak heran jika Fiorentina sepi konflik dan jarang terlibat skandal.

Sampai akhirnya ketenangan itu diusik oleh Juventus "Si Rakus dari Turin" --menyadur julukan yang dilontarkan Keluarga Medici kepada keluarga Savoy-- pada awal dekade 1980-an.

Sejak abad pertengahan, Florence dan Turin memang selalu saja memiliki konflik. Lewat persaingan dua keluarga ningrat: House of Medici yang tinggal Florence dan House of Savoy mewakili Turin.

Dari segi kekuasaan, keluarga Medici hanya menguasai Tuscani, lain hal dengan Keluarga Savoy yang menguasai Italia keseluruhan. Kendati demikian, lewat ekonomi, keluaga Medici mampu menguasai Italia lewat jalur Medici Bank, sebuah bank terbesar di Eropa pada abad 15.

Karena itu Florence dikenal sebagai tanah para bankir, pemikir, dan politikus. Hal itulah yang kadang dibenci oleh sang pemegang kuasa di Turin. Kebencian ini ditularkan ke daerah-daerah lain. Sebuah pemikiran pun lahir yang menyatakan bahwa Florence sebagai tempat para kapitalis, para lintah darat, bandit-bandit yang berlindung di balik darah ningrat.

Scudetto yang Tercuri

Lima abad kemudian, lewat sepakbola, kebencian itu kembali terjadi. Muhammad Kusnaeni, atau sosok yang akrab disapa Bung Kus, dalam buku berjudul "Sepakbola Italia" menulis bahwa dalam klub Fiorentina memang dibenci di seluruh tanah Italia.

Halaman: 1 2 3 4
{ Read More }


Mengenal Sculli, Mafia yang Menyaru Jadi Pemain Sepakbola

“Ada mafia menyusup ke ultras dan para ultras adalah mafia dalam dirinya sendiri,”

itulah kalimat pembuka dalam laporan investigasi yang dilakukan harian La Repubblicca. Sepakbola Italia dan mafia memang tak bisa terpisahkan. Keberadaan organisasi mafia dalam sepakbola Italia bak seperti candu yang menyebar dan mengikat berbagai aspek dalam sepakbola.

Dalam kultur tribun misalnya, sudah jadi rahasia umum bahwa kelompok-kelompok ultras selalu berafiliasi dengan kelompok mafia atau kriminil tengik yang jadi incaran polisi. Di AC Milan ada Giancarlo Lombardi yang pernah mencoba membunuh Andrea Galliani.

Di Lazio ada Fabrizio Piscitelli, bandar narkoba yang menjadi pemimpin Irriducibilli. Di Juventus ada Loris Gancini pemimpin Viking Curva Sud yang ditengarai sebagai anggota mafia Cosa Nostra. Inter pun sama, pendiri Boys San yakni Caravita Franco adalah pentolan mafia klan Calabria dari Rappocciolo.

Dalam sebuah laporan La Republicca menyatakan bahwa hampir di setiap kelompok ultras di Italia, salah seorang pemimpinya pasti memiliki kedekatan dengan perkumpulan mafia dan rekam jejak kriminal yang buruk. Afiliasi dengan para mafia ini yang membuat pemain, pemilik klub atau fans biasa takut pada kelompok ultras. Namun hal itu tak berlaku bagi Giussepe Sculli.

Bagi penggemar Liga Italia nama ini tak begitu asing didengar terutama bagi fans Lazio dan Juventus. Sculli tenar bukan karena prestasi. Dia populer berkat keberaniannya yang melawan ultras Genoa. Kala itu, Sculli yang membela Genoa terpaksa dicerca fans sendiri setelah timnya kalah telak dari Siena dengan skor 4-0, padahal pertandingan baru berjalan satu babak. Di saat jeda itulah fans Genoa mengamuk, memboikot pertandingan dan meminta semua pemain Genoa melepas jersey.

Halaman: 1 2
{ Read More }


IconIconIconFollow Me on Pinterest
//add jQuery library